Saturday, 4 January 2014

Pengertian Tentang Ilmu Sosial Dasar

Apa itu Ilmu Sosial Dasar?

Ilmu Sosial Dasar adalah seseorang atau kelompok yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Dalam mempelajari Ilmu Sosial Dasar ini menekankan metode ilmiah dalam mempelajari manusia meliputi perilaku dan interkasi manusia. Pembelajaran Ilmu Sosial Dasar dapat digunakan sebagai jalan keluar dalam mencari pemecahan masalah sosial yang ada pada kehidupan masyarat.
Ilmu Sosial Dasar
Dalam bermasyarakat pentingnya sosialisasi sangat diperhatikan, karena sosialisasi adalah proses penanaman nilai dan aturan. Sosialiasi dibagi menjadi dua jenis yaitu Sosialisasi Primer (sosialisasi dalam keluarga) dan Sosialisasi Sekunder (sosialisasi dalam masyarakat).
Sosialisasi Primer berlangsung pada saat anak berusia 1-5 tahun, anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga.  dalam tahap ini peran orang tua dan peran orang-orang terdekat sangatlah penting, warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh kepribadian dan interaksi antara anda dan anggota keluarganya.
Sosialiasi Sekunder yaitu proses sosialiasisasi setelah sosialisasi primer, memperkenalkan individu ke dalam kelompok masyarakat. Pada proses ini masyarakat yang menilai kepribadian seseorang, contoh apakah seseorang yang dinilai kepribadiannya adalah orang baik atau tidaknya dinilai dari kepribadian kita.

Tipe Sosialisasi

Dalam proses sosialiasi terdapat tipe sosialiasi Formal dan tipe sosialisai Informal. Tipe sosiaisasi formal terjadi melalui lembaga yang berwenang yang sesuai ketentuan yang berlaku dalam negara, contohnya seperti pendidikan sosial di sekolah dan pendidikan pada militer. Sedangkan tipe sosialisasi informal terjadi di masyarakat atau dalam pergaulan antar teman, sahabat, sesama anggota kelompok-kelompok sosial yang ada di masyarakat.
Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal, sosialisasi tersebut tetap mengarah ke arah pertumbuhan pribadi supaya sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya.
Dalam interkasi dalam sosialisasi formal atau interaksi sosialisai informal dalam lingkungan seperti sekolah seseorang murid mengalami proses sosialisasi, dengan proses sosialisasi tersebut siswa memahami tentang peran yang harus ia lakukan dan mempunyai kesadaran untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya merupakan siswa yang disukai banyak teman atau tidak? Atau bagaimana dengan perilaku saya, sudah pantaskah atau tidak?

Pola Sosialisasi

Pola sosialisasi dibagi menjadi dua: pola sosialisasi represif dan pola sosialisasi partispatoris.
Sosialisai Represih lebih menekankan guna hukuman terhadap kesalahan. Atau ciri lian dari pola sosialisasi represif adalah penekanan dalam hukuman dan imbalan, contoh penekanan kepada orang tua supaya patuh akan perintah orang tua, penekanan ini terletak pada orang tua dan keinginan orang tua terhadap anaknya.
Sosialisasi Partisipatoris yaitu pola di mana ketika anak berprilaku baik mendapat imbalan akan prilakunya tersebut, sebagai contoh ketika di daerahnya sedang turun hujan, si anak berinisiatif mengambil jemuran di belakang rumahnya, karena prilaku baiknya anak diberi imbalan.

Proses Sosialisasi

Menurut pendapat George Herbet Mead bahwa sosialisasi yang akan dilalui seseorang dibedakan melalui tahap persiapan (preparatory stage), tahap meniru (play stage), tahap siap bertindak (game stage), tahap penerimaan norma kolektif (generalized stage/generalized other).

Tahap Persiapan (Preparatory Stage)

Tahap ini dialamai oleh setiap manusia sejak dilahirkan, moment seorang anak menyiapkan diri mengenal dunia sosialnya. Tahap ini anak mulai meniru kegiatan yang dilakukan orang tuanya atau orang di sekitarnya. Contoh: seorang ibu mengajarkan mengeja kata “mamah” balita akan mencoba mengucapkan kata yang diulangi ibunya, mesti tidak sempurna diucapkan “myamyah”. Seiring anak tumbuh lama-kelamaan anak dapat memahami makna kata mamah tersebut dengan kenyataan bahwa ibunya adalah mamahnya.

Tahap Meniru (Play Stage)

Pada tahap ini semakin sempurna seorang anak meniru peran yang dilakukan orang dewasa. Anak menyadari tentang yang dilakukan orang disekitarnya. Pada tahap ini kemampuan untuk menempatkan diri dengan posisi orang lain mulai terbentuk.

Tahap Siap Bertindak (Game Stage)

Di tahap peniruan sudah berkurang lalu digantukan peran yang dimainkan secara langsung dengan kesadaran penuh. Pada tahap ini hubungan dengan lawan interkasi semakin kompleks, dan si Individu mulai berhubungan dengan teman sebayanya di luar rumah. Secara bertahap peraturan-peraturan yang berlaku mulai dipahami.

Tahap Penerimaan Norma Kolektif (Generalized Stage/Generalized other)

Seseorang telah dianggap dewasa pada tahap ini, karena sudah bisa menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Kata lainnya, seseorang bersika tenggang rasa mulai dari orang-orang yang dikenalnya dan juga dengan masyarat luas. Manusia ini sadar pentingnya peraturan di sekitarnya. pada tahap ini ia telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.

Apakah Ilmu Sosial Dasar sama dengan Ilmu Pengetahuan Sosial?

Ilmu Sosial Dasar dan Ilmu Pengetahuan Sosial tentu saja berbeda, Ilmu Sosial Dasar memusatkan diri pada satu topik secara mendalam, pembelajaran yang berdasarkan nilai kehidupan, supaya bisa menilai dan menganalisis permasalahan yang ada disekitarnya, dengan cara bersosialisasi dengan lingkungannya. Sedangkan Ilmu Pengetahuan Sosial secara umum memberikan tinjauan  terhadap masyarakat, pembelajaran yang lebih menuju nilai tenggang rasa, sejarah, geografi, ekonomi dan lain-lain.
Dalam pembelajaran Ilmu Sosial Dasar atau Ilmu Pengetahuan Sosial di Indonesia Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran Sekola Dasar (SD) dan Sekolah Menegah Pertama (SMP), Sedangkan Ilmu Sosial Dasar merupakan pembelajaran Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi tergantung fakultas dan jurusan yang memfokuskan pelajaran Ilmu Sosial Dasar.

Pentingnya Mempelajari Ilmu Sosial Dasar

Dalam suatu universitas yang mempelajari Ilmu Sosial Dasar contohnya Universitas Gunadarma, mempunyai tujuan khusus, supaya mahasiswa mengetahui aspek-aspek masalah sosial. Mahasiswa yang mempelajari Ilmu Sosial Dasar dapat menerapkan dalam kehidupannnya demi tercapai tujuan masyarakat yang baik.

Etika Dalam Bersosialisasi

Etika dan sopan santun sangatlah penting dalam bersosialisasi ditengah masyarakat supaya dapat diterima dengan baik di lingkungan masyarakat. Dalam menjaga interaksi sosial yang baik, dengan menjaga etika dapat membantu tiap individu supaya saling menghargai dan tertib dalam bermasyarakat.
Supaya kita dihargai dan diterima dalam oleh masyarakat etika dan sopan santun harus dijaga, contohnya ketika kita sedang mengantri, antrilah dengan tertib jika kita menyelak antrian maka padangan masyarakat tengan kita buruk.

Tujuan Ilmu Sosial Dasar

  • Memiliki wawasan dan pengetahuan yang dibutuhkan seseorang untuk melangsungkan kehidupannya di tengah masyarakat dan mampu menghadapi masalah yang timbul dilingkungannya
  • Peka terhadap masalah sosial dan tanggap ikut serta dalam memecahkan problemanya di lingkungan sekitarnya
  • Paham dan sadar dengan adanya kenyataan-kenyataan sosial maupun masalah-masalah sosial di dalam masyarakat
  • Mengembangkan kemampuan berkomunikasi terhadap masyarakat
  • Menjalankan peraturan yang ditetapkan
  • Supaya manusia menyadari masalah dan kenyataan yang ada pada masyarakat.
  • Sigap dalam menghadapi masalah yang timbul
  • Berpikir kritis terhadap masalah-masalah yang menimpa.
Berikut diatas merupakan Penjelasan Tentang Ilmu Sosial Dasar. Tulisan diatas dikutip dari wikipedia dan sumber-sumber terkait yang diamati, ditiru, dan dimodifikasi.

Fungsi Agama

Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah
  • Karena agama merupakan sumber moral
  • Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
  • Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
  • Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
  • Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah ataukebaikan.
  • Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan
Disinilah letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.

Fungsi Agama Kepada Manusia

Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:
- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT
-Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat  menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini.
- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
– Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial

Fungsi Sosial Agama

Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.

Fungsi Disintegratif Agama.

Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain

Tujuan Agama

Salah satu tujuan agama adalah membentuk jiwa nya ber-budipekerti dengan adab yang sempurna baik dengan tuhan-nya maupun lingkungan masyarakat.semua agama sudah sangat sempurna dikarnakan dapat menuntun umat-nya bersikap dengan baik dan benar serta dibenarkan. keburukan cara ber-sikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarnakan ketidakpahaman tujuan daripada agama-nya. memburukan serta membandingkan agama satu dengan yang lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama

Beberapa tujuan agama yaitu :
  • Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
  • Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan  baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
  • Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
  • Menyempurnakan akhlak manusia.
Menurut para peletak dasar ilmu sosial seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi umumnya agamawan, agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya –bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan kemanusiaan.
Masalahnya, di balik keyakinan para agamawan ini, mengintai kepentingan para politisi. Mereka yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi potensial dari agama ini. Maka, tak ayal agama kemudian dijadikan sebagai komoditas yang sangat potensial untuk merebut kekuasaan.
Yang lebih sial lagi, di antara elite agama (terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya yang berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini pun tentunya sangat jeli dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek kerja sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para elite agama yang juga mabuk ekspansi keyakinan.
Namun, perlu dicatat, dalam proyek “kerja sama” ini tentunya para politisi jauh lebih lihai dibandingkan elite agama. Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat relijius yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui jalur politik. Padahal sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi agama.
Di tangan penguasa atau politisi yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan; agama yang mestinya bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengkotak-kotakkan umat, atau bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan sebagai kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya.
Menurut saya, disfungsi atau penyalahgunaan fungsi agama inilah yang seyogianya diperhatikan oleh segenap ulama, baik yang ada di organisasi-organisasi Islam semacam MUI. Ulama harus mempu mengembalikan fungsi agama karena Agama bukan benda yang harus dimiliki, melainkan nilai yang melekat dalam hati.
Mengapa kita sering takut kehilangan agama, karena agama kita miliki, bukan kita internalisasi dalam hati. Agama tidak berfungsi karena lepas dari ruang batinnya yang hakiki, yakni hati (kalbu). Itulah sebab, mengapa Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa segala tingkah laku manusia merupakan pantulan hatinya. Bila hati sudah rusak, rusak pula kehidupan manusia. Hati yang rusak adalah yang lepas dari agama. Dengan kata lain, hanya agama yang diletakkan di relung hati yang bisa diobjektifikasi, memancarkan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, kita lebih suka meletakkan agama di arena yang lain: di panggung atau di kibaran bendera, bukan di relung hati
Fungsi pertama agama, ialah mendefinisikan siapakah saya dan siapakah Tuhan, serta bagaimanakah saya berhubung dengan Tuhan itu. Bagi Muslim, dimensi ini dinamakan sebagai hablun minaLlah dan ia merupakah skop manusia meneliti dan mengkaji kesahihan kepercayaannya dalam menghuraikan persoalan diri dan Tuhan yang saya sebutkan tadi. Perbincangan tentang fungsi pertama ini berkisar tentang Ketuhanan, Kenabian, Kesahihan Risalah dan sebagainya.
Kategori pertama ini, adalah daerah yang tidak terlibat di dalam dialog antara agama. Pluralisma agama yang disebut beberapa kali oleh satu dua penceramah, TIDAK bermaksud menyamaratakan semua agama dalam konteks ini. Mana mungkin penyama rataan dibuat sedangkan sesiapa sahaja tahu bahawa asas agama malah sejarahnya begitu berbeza. Tidak mungkin semua agama itu sama!
Manakala fungsi kedua bagi agama ialah mendefinisikan siapakah saya dalam konteks interpersonal iaitu bagaimanakah saya berhubung dengan manusia. Bagi pembaca Muslim, kategori ini saya rujukkan ia sebagai hablun minannaas.
Ketika Allah SWT menurunkan ayat al-Quran yang memerintahkan manusia agar saling kenal mengenal (Al-Hujurat 49: 13), perbezaan yang berlaku di antara manusia bukan sahaja meliputi perbezaan kaum, malah agama dan kepercayaan. Fenomena berbilang agama adalah seiring dengan perkembangan manusia yang berbilang bangsa itu semenjak sekian lama.
Maka manusia dituntut agar belajar untuk menjadikan perbedaan itu sebagai medan kenal mengenal, dan bukannya gelanggang krisis dan perbalahan.
Untuk seorang manusia berkenalan dan seterusnya bekerjasama di antara satu sama lain, mereka memerlukan beberapa perkara yang boleh dikongsi bersama untuk menghasilkan persefahaman. Maka di sinilah, dialog antara agama (Interfaith Dialogue) mengambil tempat. Dialog antara agama bertujuan untuk menerokai beberapa persamaan yang ada di antara agama. Dan persamaan itu banyak ditemui di peringkat etika dan nilai. 

Pengertian Kemiskinan

Profesi pekerjaan sosial memandang kemiskinan sebagai masalah yang multidimensional. Ellis dalam Suharto (2006) mengatakan bahwa “dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis”. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumber daya dalam konteks ekonomi tidak hanya menyangkut aspek finansial tetapi meliputi semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Secara politik, kemiskinan dilihat dari rendahnya akses terhadap kekuasaan. Pengertian kekuasaan dalam konteks ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumber daya. Tiga pertanyaan mendasar berkaitan dengan akses terhadap kekuasaan adalah : 1) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumber daya yang ada dalam masyarakat, 2) bagaimana orang dapat ikut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumber daya yang tersedia dan 3) bagaimana kemampuan orang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas.
Suharto (2006 : 148 – 149) mengatakan bahwa ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar.
3. Kelompok rentan (vunerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Kemiskinan oleh profesi pekerjaan sosial lebih dipandang sebagai persoalan-persoalan struktural tetapi dalam upaya pemecahannya pekerjaan sosial menekankan keberfungsian sosial sebagai upaya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang menjerat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Strategi pekerjaan sosial dalam menanggulangi kemiskinan adalah peningkatan kemampuan individu dan kelompok dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan statusnya. Oleh karena itu, untuk dapat merancang model intervensi dan strategi pemecahan masalah yang tepat maka lebih dulu perlu diketahui mengenai pengertian kemiskinan, karakteristik, indikator dan dimensinya.
A. Pengertian
Menurut Sarasutha dan Noor dalam Supadi dan Achmad Rozany (2008 : 3 – 4) “kemiskinan secara konseptual dapat dibedakan atas tiga pengertian, yaitu kemiskinan subyektif, kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dalam pengertian kemiskinan subyektif, setiap orang mendasarkan pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa kebutuhannya tidak terpenuhi secara cukup walaupun secara absolut atau relatif sebenarnya orang itu tidak tergolong miskin”. Kemiskinan subyektif terjadi karena individu menyamaratakan keinginan (wants) dengan kebutuhan (needs). Pengertian kemiskinan absolut adalah kondisi di mana seseorang atau keluarga memiliki pendapatan tetapi tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan minimumnya sehari-hari secara efisien. Pengertian kemiskinan relatif berkaitan dengan konsep relative deprivation di mana kemampuan pemenuhan kebutuhan seseorang atau sebuah keluarga berada dalam posisi relatif terhadap anggota masyarakat lain yang tinggal dalam satu wilayah. Konsep ini terkait erat dengan ketimpangan pendapatan.
Pengertian kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif yang dikemukakan oleh Supadi dan Achmad Rozany (2008) berbeda dengan pengertian kemiskinan yang dikemukakan oleh Badan Pusat Statistik. Menurut BPS (2008), berbagai masalah kemiskinan dapat dikelompokkan dalam empat terminologi, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan absolut menurut BPS, ditentukan berdasarkan ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan pokok minimumnya seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang dan nilai minimum kebutuhan dasar yang dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Oleh karena itu, penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.
Pengertian kemiskinan absolut lebih banyak digunakan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada berbagai sektor pelayanan publik, misalnya di bidang pangan, kesehatan, pendidikan dan perumahan. Untuk mengukur kemiskinan dan kriteria penduduk miskin, pemerintah antara lain menggunakan pendekatan pendapatan atau pengeluaran penduduk untuk pemenuhan kebutuhan dasar minimum, pendekatan rata-rata per-kapita dan pendekatan klasifikasi keluarga sejahtera seperti yang digunakan oleh BKKBN. Pada tahun 2004 BPS menggunakan pendekatan pengeluaran minimum makanan yang setara dengan 2.100 kkal/hari ditambah pengeluaran bukan makanan (perumahan dan fasilitasnya, sandang, kesehatan, pendidikan, transport dan barang-barang lainnya). Pada tahun 2008, BPS menetapkan lagi 8 variabel yang dianggap layak dan operasional sebagai indikator untuk menentukan rumah tangga miskin, yaitu : 1) luas lantai per-kapita, 2) jenis lantai, 3) air minum/ketersediaan air bersih, 4) jenis jamban/wc, 5) kepemilikan aset, 6) pendapatan per-bulan, 7) pengeluaran, khususnya prosentase pengeluaran untuk makanan dan 8) konsumsi lauk pauk.
Pendekatan yang digunakan BPS relatif lebih sederhana dan mudah dilakukan pengukurannya dibandingkan beberapa pendekatan dan pengertian lainnya mengenai kemiskinan. Namun pendekatan dan pengukuran ini mempunyai kecenderungan mengabaikan perkembangan standar kebutuhan minimum manusia yang mengikuti perkembangan dan kemajuan pembangunan maupun teknologi. Sebagai contoh, sebelum era tahun 2000 kebutuhan masyarakat terhadap informasi dan komunikasi dapat terpenuhi melalui media cetak (koran dan majalah) dan media elektronik (radio dan televisi). Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kebutuhan informasi dan komunikasi masyarakat sudah mengalami peningkatan yang sangat tinggi terhadap televisi kabel, telepon kabel, telepon seluler dan internet.
Penggunaan definisi kemiskinan absolut dalam perencanaan program penanggulangan kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah karena definisi dan pendekatan yang tersebut dapat digunakan untuk menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu atau perkiraan dampak suatu proyek terhadap kemiskinan. Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang digunakan oleh Bank Dunia untuk dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara. Bank Dunia menggunakan pendekatan ini karena memudahkan dalam menentukan kemana dana bantuan akan disalurkan dan kemajuan yang dicapai suatu negara dapat dianalisis.
Pengertian kemiskinan relatif menurut BPS (2008) adalah “suatu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan”. BPS mengemukakan bahwa standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk miskin. Ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan atau pengeluaran penduduk. Pengertian kemiskinan relatif sebagaimana yang dikemukakan oleh BPS lebih menunjuk pada kesenjangan pendapatan dan pengeluaran antar wilayah dalam suatu negara atau antar negara di dunia. Pengertian kemiskinan relatif menurut BPS cenderung mengarah pada ukuran kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap masyarakat sedangkan pengertian kemiskinan relatif yang dikemukakan oleh Supadi dan Akhmad Rozany lebih menunjuk pada pembandingan kondisi obyektif tingkat kesejahteraan seseorang terhadap orang lain dalam suatu wilayah atau suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda wilayah. Menurut Suparlan dalam Masjkuri (2007 : 40 – 41),
“kemiskinan adalah suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin”.
Pengertian yang dikemukakan Suparlan memandang kemiskinan sebagai suatu masalah yang relatif pada seseorang atau sekelompok orang dalam suatu wilayah. Pengertian kemiskinan ini juga merujuk pada perbedaan status sosial dan ekonomi anggota-anggota masyarakat dalam suatu komunitas. Dalam pengertian kemiskinan yang dikemukakan oleh Sarasutha dan Noor maupun Suparlan terlihat bahwa tidak ada ukuran yang baku yang digunakan untuk menetapkan suatu kondisi individu atau kelompok sebagai kondisi miskin. Tidak adanya pengukuran yang baku mengenai kondisi miskin yang relatif tersebut di satu sisi memudahkan untuk menentukan kelompok sasaran pemberdayaan berdasarkan pengamatan dan analisis terhadap perbedaan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dalam suatu komunitas. Namun di sisi lain, tidak adanya ukuran standar yang baku untuk menetapkan tingkat kemiskinan dalam pengertian kemiskinan relatif ini mempunyai kelemahan, yaitu tidak ada standar kondisi yang ingin dicapai dalam program pemberdayaan dan kemiskinan relatif ini akan terus terjadi karena ketika kelompok sasaran diberdayakan dan mencapai tingkat kesejahteraan tertentu selalu ada kemungkinan kelompok keluarga mampu yang dijadikan pembanding meningkat lagi kualitas hidup dan kesejahteraannya.
Berbeda halnya dengan BPS yang menetapkan garis kemiskinan dalam terminologi kemiskinan relatif. Garis kemiskinan untuk setiap sebuah provinsi di Indonesia tidak sama garis kemiskinan di provinsi lainnya. Demikian pula garis kemiskinan masing-masing kabupaten/kota dalam wilayah provinsi yang sama. Sebagai contoh, BPS (2008) menetapkan garis kemiskinan (kapita/bulan) perdesaan di Jawa Barat[1] sebesar Rp.155.367,- sedangkan di perkotaan sebesar Rp. 190.824,-. Perbedaan ini terjadi karena harga-harga kebutuhan dasar minimum di perdesaan yang relatif lebih kecil daripada di perkotaan. Perbedaan garis kemiskinan juga disebabkan oleh perbedaan jenis kebutuhan minimum, misalnya : masyarakat miskin perdesaan biasanya mempunyai rumah sendiri sekalipun kondisinya kurang layak sedangkan masyarakat miskin di perkotaan umumnya tinggal di rumah sewa atau kontrakan.
Dari beberapa pengertian dan penjelasan mengenai kemiskinan relatif, penulis mencermati adanya kaitan langsung antara pengertian kemiskinan relatif dengan pengertian kemiskinan subyektif. Seseorang atau sekelompok orang merasa dirinya miskin bukan hanya karena tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya tetapi mereka merasa miskin karena membandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya mempunyai kehidupan dan status sosial ekonomi yang lebih baik. Demikian pula sebaliknya, ada orang atau sekelompok orang yang memandang orang lain sebagai orang miskin karena membandingkan kemampuan dirinya terhadap ketidakmampuan orang atau kelompok lain tersebut.
Individu atau kelompok yang merasa dirinya miskin tetapi mempunyai motivasi tinggi untuk mengatasi masalahnya cenderung melakukan berbagai cara dan usaha untuk keluar dari kondisi miskin yang dialaminya. Namun pada individu atau kelompok tertentu kondisi miskin tersebut dianggap sebagai suatu hal yang biasa, berlangsung dalam waktu yang lama bahkan diturunkan dari generasi ke generasi. Sikap dan pandangan kelompok yang menganggap kemiskinan sebagai hal yang biasa oleh Taylor (2007) disebut sebagai ’kondisi membiasanya penderitaan’. Taylor mengatakan bahwa :
“Pola hidup sederhana ada dalam komunitas-komunitas yang agak stabil dan lebih kuat, bahkan pola itu semakin meningkat. Lingkungan tempat mereka lahir dan bertumbuh, dalam banyak hal, lebih mudah dihadapi daripada kebudayaan baru yang perlu penyesuaian bahkan mungkin mengkhawatirkan. Ciri pokok “kondisi membiasanya penderitaan” dalam suatu lingkungan adalah bahwa kondisi tersebut sangat sulit disadari oleh orang-orang yang hidup di dalamnya. Dengan demikian, apa yang tampak dari luar sebagai kondisi hidup yang mengerikan, oleh orang-orang yang berada di dalam, dilihat sebagai realitas hidup harian yang tidak menutup kemungkinan bagi berkembangnya rasa senang atau kepuasan”.
Kemiskinan yang digambarkan oleh Taylor menunjukkan bahwa ada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak menyadari kemiskinan yang dialaminya sebagai suatu masalah. Sekalipun mereka memandang kemiskinan sebagai suatu masalah tetapi tidak berupaya untuk mengatasi masalah dan keluar dari kondisi miskin yang memerangkap dirinya. Kondisi membiasanya penderitaan dan perangkap kemiskinan sebagaimana digambarkan Taylor utamanya dapat dilihat pada kelompok-kelompok yang secara turun temurun selalu berada dalam stratifikasi sosial paling bawah. Kelompok masyarakat seperti ini cenderung menerima kemiskinan sebagai nasib. Mereka tidak menangkap peluang dalam perkembangan dan pembangunan di sekitarnya, bahkan seringkali enggan atau takut untuk memulai sesuatu yang baru.
Terbiasanya suatu kelompok dalam kondisi miskin yang memerangkapnya, tidak hanya disebabkan oleh sikap pasrah terhadap nasib tetapi dipengaruhi juga oleh budaya kemiskinan (cultural of poverty). Suparlan (2003 : 4) dalam term of reference (TOR) yang disusunnya untuk seminar mengenai segi sosial dan ekonomi pemukiman kumuh mengatakan bahwa :
“permasalahan informal dan aksesibiliti (warga di pemukiman kumuh) mungkin lebih tepat kalau dilihat dalam kaitannya dengan kebudayaan kemiskinan yang mereka miliki. Sebab bukan hanya mereka itu tidak mempunyai akses tetapi seringkali juga mereka tidak bersedia untuk menggunakan atau salah menggunakan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah melalui pranata-pranatanya”.
Dari pernyataan Suparlan tersebut dapat dilihat bahwa ada kelompok-kelompok miskin tertentu yang sulit untuk diberdayakan sekalipun sudah mendapat bantuan dari pemerintah karena sikap dan perilakunya dipengaruhi budaya kemiskinan. Menurut Lewis dalam Suparlan (2003 : 4 – 6) ”kebudayaan kemiskinan berkembang dalam kehidupan masyarakat orang miskin yang dari generasi ke generasi berikutnya hidup dalam kemiskinan”. Definisi budaya kemiskinan menurut Lewis dalam Masjkuri (2007 : 40) adalah ”suatu adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme”.
Pengertian budaya miskin (cultur of poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis digunakan berbagai pihak sebagai rujukan untuk merumuskan pengertian kemiskinan kultural termasuk oleh BPS. Menurut BPS (2008), ”kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan”. BPS berpendapat bahwa indikator tersebut seyogyanya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap dapat dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang untuk melakukan perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengertian kemiskinan kultural yang dikemukakan BPS mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, tradisi dan kebiasaan yang cenderung mengarahkan masyarakat pada sikap apatis, ”nrimo” atau pasrah pada nasib, boros dan bahkan tidak kreatif sekalipun ada bantuan dari pihak luar. Selain itu, kemiskinan kultural tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi disebabkan oleh proses perubahan sosial secara fundamental, seperti transisi dari budaya feodalisme kepada budaya kapitalisme.
Dalam konteks budaya kemiskinan dan kemiskinan kultural, kondisi miskin yang dialami masyarakat juga terjadi karena adanya legalisasi dan penguatan komunitas terhadap sikap dan perilaku negatif anggota-anggotanya. Rendahnya motivasi dan minat kompetisi warga untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya tidak dipandang sebagai suatu masalah oleh komunitas bahkan sebaliknya apabila ada warga yang menunjukkan tingkat partisipasi dan tindakan proaktif yang tinggi justru akan menimbulkan kecemburuan sosial, dianggap sebagai upaya untuk menonjolkan diri, menimbulkan persaingan dan kesenjangan di antara mereka sendiri. Hal ini terlihat cukup jelas dalam komunitas yang menjadi latar penelitian. Kegagalan dalam pengelolaan bantuan oleh sekelompok warga yang pernah menerima bantuan modal usaha dari pemerintah dipandang sebagai hal biasa. Komunitas tidak berupaya untuk saling mendukung agar warganya menjadi lebih sejahtera. Beberapa orang warga bahkan seolah-olah khawatir apabila status sosial ekonominya tersaingi oleh warga lain. Ini terlihat dari keengganan warga untuk bekerja sama dalam program pemberdayaan secara mandiri dan kecenderungan penyaluran bantuan yang dibagikan secara merata.
Selain pengertian kemiskinan subyektif, absolut dan relatif, pengertian kemiskinan yang juga perlu digunakan untuk memahami kondisi kemiskinan masyarakat adalah pengertian kemiskinan struktural. Menurut Suyanto dalam BPS (2008 : 7 – 8),
“kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Kemiskinan dalam kondisi struktur demikian tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang alami atau faktor-faktor pribadi dari orang miskin itu sendiri melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tidak adil. Tatanan yang tidak adil ini menyebabkan banyak masyarakat gagal untuk mengakses sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mengembangkan dirinya maupun untuk meningkatkan kualitas kehidupannya”.
Pengertian kemiskinan struktural seperti dikemukakan Suyanto menggambarkan bahwa kemiskinan yang dialami masyarakat disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari luar diri masyarakat itu sendiri. Faktor-faktor tersebut utamanya ditengarai berasal dari pemerintah dan struktur-struktur kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Faktor-faktor penyebab dalam pengertian kemiskinan struktural antara lain kebijakan sosial yang tidak berpihak kepada masyarakat, penguasaan sumber daya secara berlebihan oleh pemerintah, pembangunan yang tidak dialokasikan secara adil dan terbatasnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berperan sebagai subyek dalam pembangunan.
Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan, pemerintah melalui Bappenas (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai “kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat”[2]. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Definisi kemiskinan menurut Bappenas cenderung mengarah pada terminologi kemiskinan struktural karena di dalamnya terkandung makna dan maksud negara untuk memberi kesempatan yang sama kepada seluruh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagaimana hak-hak dasarnya sebagai manusia dan sebagai warga negara. Perumusan definisi ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan Bappenas sebagai suatu lembaga perangkat pemerintah yang mempunyai tugas untuk merancang berbagai kebijakan dan program pembangunan untuk masyarakat.
Pengertian kemiskinan yang kompleks dan disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar diri orang miskin dikemukakan oleh Michel Mollat dalam Muller (2006 : 8). Menurut Mollat, kemiskinan dapat dilukiskan sebagai berikut :
“Orang miskin adalah mereka yang tetap atau sementara dalam keadaan lemah, tergantung dan remeh, dalam keadaan kekurangan yang berbeda-beda menurut zaman dan pola masyarakat serta dalam keadaan tak berdaya dan terhina. Orang miskin tidak memiliki uang, koneksi, pengaruh, kuasa, pengetahuan, keterampilan teknis, kelahiran yang terhormat, kekuatan fisik, kemampuan intelektual, kebebasan pribadi bahkan harkat manusia. Mereka hidup dari hari ke hari dan tidak punya peluang sedikit pun untuk melepaskan diri dari keadaannya tanpa bantuan orang lain. Definisi semacam ini meliputi semua orang yang tersingkirkan dan dicabut hak-haknya, semua orang aneh dan semua kelompok marginal”.
Definisi yang dikemukakan oleh Mollat secara spesifik menunjuk kepada kelompok-kelompok masyarakat yang mengalami masalah ganda dalam kemiskinannya. Gambaran orang miskin tersebut menunjukkan bahwa selain tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, orang miskin mengalami berbagai hambatan yang berasal dari dalam dirinya serta menerima perlakuan dari luar yang membuatnya semakin terpuruk. Selain pengertian-pengertian kemiskinan sebagaimana telah dikemukakan, salah satu pengertian kemiskinan yang perlu dipertimbangkan adalah pengertian kemiskinan yang diungkapkan oleh masyarakat itu sendiri. Standar dan indikator yang digunakan oleh banyak pihak seringkali menyebabkan masyarakat dipaksa atau terpaksa masuk dalam sejumlah program yang tidak difahaminya dan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Dampak negatif dari perlakuan semacam ini adalah lekatnya stempel kemiskinan pada suatu komunitas yang sebelumnya tidak merasakan adanya masalah. Dampak negatif lainnya adalah pemborosan anggaran untuk berbagai program yang tidak membawa perubahan signifikan terhadap kondisi kehidupan masyarakat.
Selain ciri-ciri yang sudah disebutkan, beberapa ciri yang dikemukakan Suparlan (2003 : 5 – 6) adalah :
1. Kurang atau tidak efektifnya partisipasi dan integrasi golongan miskin dalam pranata-pranata utama yang ada dalam masyarakat luas. Sebabnya adalah karena lingkungan kemiskinan dan kekumuhan yang disebabkan oleh langkanya sumber-sumberdaya ekonomi, menghasilkan adanya segregasi dan diskriminasi, ketakutan, kecurigaan dan apatis. Ini semua menghasilkan adanya jarak sosial antara mereka dengan masyarakat luas.
2. Muncul dan berkembangnya pranata-pranata hutang menghutang, gadai-menggadai, tolong menolong di antara sesama tetangga secara spontan maupun melalui arisan ataupun perkumpulan-perkumpulan sejenis, tidak adanya kesetiaan kerja terhadap satu jenis pekerjaan yang ditekuni atau dengan kata lain cenderung untuk mudah pindah pekerjaan, mengerjakan pekerjaan rangkap asal menguntungkan. Spekulasi atau untung-untungan juga menjadi salah satu ciri dari kebudayaan miskin. Karenanya jenis pekerjaan yang biasanya mereka tekuni adalah di sektor informal yang memudahkan mereka untuk berganti bidang kegiatannya, yang tidak harus mendapat pengesahan hukum untuk melakukannya, yang tidak harus memanfaatkan pranata-pranata atau fasilitas-fasilitas yang berlaku dalam masyarakat luas, dan pada hakekatnya bersifat spekulasi yang keuntungannya langsung dapat dihitung seketika itu juga.
3. Adanya semacam pemberontakan tersembunyi terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap masyarakat, tetapi di lain pihak juga ada sikap-sikap pasrah dan masa bodoh terhadap nasib yang mereka jalani maupun terhadap mereka yang dianggap mempunyai kekuasaan sosial dan ekonomi. Karena itu dengan mudah mereka itu menjadi penurut dan tunduk kepada petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah tetapi dengan mudah mereka itu juga lupa atau melupakannya bila dianggap terlalu ruwet dan hanya menyulitkan diri serta tidak ada keuntungannya untuk diikuti. Sikap seperti ini juga menghasilkan sikap tidak peduli atau masa bodoh kepada orang lainnya, termasuk tetangganya, dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.
4. Wanita atau lebih khusus lagi diperlakukan bukan hanya sebagai ibu rumah tangga tetapi juga sebagai penghasil nafkah bagi kelangsungan hidup rumah tangga. Anak bukan hanya sebagai besaran ego yang diperlakukan sebagai mainan untuk disayangi tetapi juga membantu atau tenaga kerja pencari nafkah orang tua. Anak juga diperlakukan sebagai rasa aman dan keyakinan diri serta sebagai sandaran masa depan kesejahteraan hidup mereka di hari tua. Tetapi, bersamaan dengan itu anak juga dijadikan sasaran pelampiasan frustasi dan keputusasaan. Karena itu anak juga cepat menjadi dewasa baik secara mental maupun seksual.
B. Dimensi
Konsep dimensi kemiskinan antara lain dikemukakan oleh David Cox dalam Suharto (2006 : 132 – 133). David Cox membagi kemiskinan dalam empat dimensi, yaitu :
a. Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi.
b. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan.
c. Kemiskinan sosial, dan
d. Kemiskinan konsekuensial.
Suharto (2006 : 133) mengatakan bahwa konsepsi kemiskinan yang multidimensional ini lebih tepat untuk digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan di Indonesia. Dimensi ekonomi memungkinkan untuk dilakukan pengukuran secara langsung terhadap kemiskinan untuk menetapkan standar baku yang dikenal sebagai garis kemiskinan (line poverty). Dalam konteks politik, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Dimensi sosial psikologis dalam kemiskinan menunjuk pada kurangnya jaringan dan struktur sosial yang dapat mendukung upaya untuk mendapat kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas.
Dimensi-dimensi kemiskinan merupakan faktor-faktor yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Hubungan sebab akibat dan saling mempengaruhi ini kemudian menyebabkan masyarakat terjebak dalam perangkap kemiskinan atau sering disebut juga sebagai lingkaran setan kemiskinan. Pada beberapa kelompok masyarakat miskin mungkin bisa jadi kemiskinan pada awalnya dipicu oleh satu atau dua faktor yang dominan, tetapi kemiskinan tersebut menjadi lebih kronis dan berkelanjutan pada saat dimensi lainnya mengarah pada kondisi yang negatif dan tidak memberikan peluang untuk melakukan perubahan. Sarasutha dan Noor dalam Supadi dan Akhmad Rozany (2008) mengatakan bahwa “ketimpangan pendapatan di pedesaan banyak dipengaruhi oleh kondisi agroekosistem setempat”. Wilayah berproduktivitas rendah mempunyai hubungan timbal balik dengan kemiskinan, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat. Oleh karena itu, suatu wilayah yang tingkat produktivitasnya rendah dapat mengakibatkan masyarakatnya miskin. Demikian pula sebaliknya, ketidakmampuan masyarakat mengelola sumber daya mengakibatkan wilayah itu menjadi miskin.
C. Indikator
Selain indikator kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah, belum ada indikator yang benar-benar tepat dan sesuai untuk digunakan untuk menggambarkan kondisi kemiskinan yang dapat diberlakukan secara umum dan baku terhadap semua komunitas, bukan hanya dari aspek kehidupan ekonominya tetapi juga dari aspek lain, misalnya aspek sosial, hukum dan politik. Menurut Emil Salim (1982)[3], penentuan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok (yang kemudian disebut sebagai garis kemiskinan), dapat dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu : 1) persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, 2) posisi manusia dalam lingkungan sekitar dan 3) kebutuhan obyetif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi. Pendapat ini menunjukkan bahwa memang tidak ada standar yang bisa digeneralisir terhadap semua kelompok masyarakat untuk menetapkan suatu kondisi dan situasi sebagai masalah kemiskinan. Oleh karena itu, indikator-indikator kemiskinan yang masih berlaku dan digunakan untuk menetapkan suatu kondisi sebagai masalah kemiskinan masih menggunakan indikator-indikator
Beberapa metode pengukuran yang digunakan dalam menetapkan indikator kemiskinan adalah sebagai berikut :
a. Metode pengukuran jumlah kalori yang dikonsumsi per orang per hari
Metode ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Standar kebutuhan minimum per orang per hari menurut BPS adalah 2100 kalori. Pemenuhan jumlah kalori tersebut sudah diperhitungkan dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk. Pemenuhan kebutuhan lainnya (non makanan) diperhitungkan dari 45 jenis komoditi non makanan dengan tidak membedakan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Jumlah pengeluaran dalam rupiah untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang disesuaikan dengan harga pasar yang berlaku di masing-masing wilayah kemudian ditetapkan sebagai garis kemiskinan penduduk di suatu wilayah.
b. Metode pengukuran pendapatan yang disetarakan dengan nilai tukar beras per kapita per tahun
Metode ini dikemukakan oleh Sajogyo dan Sajogyo (1980) untuk mengukur tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah pendapatan per kapita per tahun yang disetarakan nilai tukar beras, yaitu :
1) Kelompok paling miskin : bila pendapatannya kurang dari nilai tukar beras sebesar 240 kg/kapita/tahun.
2) Kelompok miskin sekali : bila pendapatannya hanya setara dengan nilai tukar beras sebesar 240 kg sampai dengan 360 kg per kapita/tahun.
3) Kelompok miskin : bila pendapatannya hanya setara dengan nilai tukar beras sebesar 360 kg sampai dengan 480 kg per kapita/tahun.
4) Kelompok cukup : bila pendapatannya setara dengan nilai tukar beras sebesar 480 kg sampai dengan 960 kg per kapita/tahun.
5) Kelompok kaya : bila pendapatannya sama atau lebih dari nilai tukar beras sebesar 960 kg per kapita/tahun.
c. Metode pengukuran berdasarkan kriteria kesejahteraan keluarga
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2004 menggunakan kriteria kesejahteraan keluarga untuk mengukur kemiskinan. Lima pengelompokkan tahapan keluarga sejahtera menurut BKKBN adalah sebagai berikut :
1) Keluarga Pra Sejahtera
Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.
2) Keluarga Sejahtera I
Keluarga sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikator yang digunakan, yaitu :
a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut.
b) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
c) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
d) Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
e) Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/ petugas kesehatan.
3) Keluarga Sejahtera II
Keluarga selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikator yang digunakan terdiri dari lima indikator pada Keluarga Sejahtera I ditambah dengan sembilan indikator sebagai berikut :
a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut masing-masing.
b) Sekurang-kurangnya sekali seminggu keluarga menyediakan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk.
c) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir.
d) Luas lantai rumah paling kurang 8,0 m2 untuk tiap penghuni rumah.
e) Seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir berada dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing.
f) Paling kurang satu orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan tetap.
g) Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.
h) Seluruh anak berusia 6-15 tahun saat ini (waktu pendataan) bersekolah.
i) Bila anak hidup dua orang atau lebih pada keluarga yang masih PUS, saat ini mereka memakai kontrasepsi (kecuali bila sedang hamil).
4) Keluarga Sejahtera III
Keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya. Mereka harus memenuhi persyaratan indikator pada Keluarga Sejahtera I dan II serta memenuhi syarat indikator sebagai berikut :
a) Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
b) Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga.
c) Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar-anggota keluarga.
d) Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
e) Mengadakan rekreasi bersama di luar rumahpaling kurang sekali dalam enam bulan.
f) Memperoleh berita dengan membaca surat kabar, majalah, mendengarkan radio atau menonton televisi.
g) Anggota keluarga mampu mempergunakan sarana transportasi.
5) Keluarga Sejahtera III Plus
Keluarga selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat. Keluarga-keluarga tersebut memenuhi syarat-syarat indikator pada Keluarga Sejahtera I sampai III dan ditambah dua syarat berikut :
a) Keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.
b) Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat lainnya.
Metode yang digunakan oleh BKKBN ini sudah sangat sering diperdebatkan di berbagai kalangan karena selain rumit, keluarga-keluarga yang didata belum tentu memberikan keterangan yang sebenarnya dalam proses pendataan. Salah satu indikator yang mungkin tidak dijawab secara obyektif oleh responden adalah indikator yang berkaitan dengan agama karena masyarakat umumnya malu mengakui apabila kurang aktif atau taat dalam melakukan ibadah. Kesulitan untuk menerapkan indikator dari BKKBN dalam mengukur kemiskinan juga ditemui di daerah pedesaan. Rumah di perdesaan yang letaknya jauh dari pusat kota umumnya berlantai tanah oleh karena itu bentuk dan bahan bangunan rumah tidak dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan tanpa mempertimbangkan beberapa indikator lainnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak penduduk desa yang memiliki lahan garapan dan ternak yang bila dihitung dengan nilai rupiah bahkan melebihi kekayaan yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak miskin.
d. Metode pengukuran jumlah pendapatan
Bank Dunia menggunakan metode pengukuran jumlah pendapatan minimal per hari per orang untuk menentukan garis kemiskinan. Menurut Bank Dunia, pendapatan minimal per orang per hari adalah U$ 1 (setara dengan Rp. 9.000,-). Penetapan pengukuran pendapatan ini tidak disertai dengan pengukuran pengeluaran per orang per hari dengan asumsi bahwa selain kebutuhan makanan pokok, pengeluaran untuk jenis kebutuhan lain (non makanan) tidak selalu dilakukan setiap hari. Apabila disetarakan dengan pendapatan per bulan maka seseorang dikatakan miskin apabila penghasilannya dalam sebulan kurang dari Rp. 600.000,-.
e. Metode pengukuran pemenuhan kebutuhan sesuai hak-hak dasar
Indikator kemiskinan dengan menggunakan pengukuran pemenuhan kebutuhan sesuai hak-hak dasar ini dikemukakan oleh BAPPENAS. Masing-masing indikator tersebut adalah :
1) Terbatasnya kecukupan pangan, yaitu kurang dari 2.100 kkal/orang/hari.
2) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan yang disebabkan oleh kesulitan mendapat layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh serta biaya perawatan dan pengobatan yang mahal.
3) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan, baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung.
4) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, perbedaan upah dan lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan.
5) Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,
6) Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air.
7) Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian.
8) Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumber daya alam sebagai sumber penghasilan.
9) Lemahnya jaminan rasa aman.
10) Lemahnya partisipasi.
11) Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Seringkali kondisi kemiskinan yang dialami suatu komunitas tidak memenuhi semua unsur indikator yang telah disebutkan. Indikator-indikator yang terlihat jelas dan berlaku pada komunitas secara umum adalah : 1) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, 2) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, 3) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, 4) terbatasnya akses terhadap air bersih, 5) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, 6) terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam dan 7) lemahnya partisipasi. Perbedaan kemampuan anggota komunitas dalam memenuhi kebutuhan dasar dan kepemilikan aset/lahan secara tidak langsung telah membuat stratifikasi sosial dalam komunitas. Stratifikasi sosial ini tidak ada kaitannya dengan faktor keturunan tetapi lebih disebabkan oleh cara pandang dan pengukuran komunitas terhadap tingkat ekonomi warganya.
D. Karakteristik
Menurut BPS (2008), karakteristik rumah tangga miskin di Indonesia dikelompokkan dalam bidang sosial demografi, pendidikan, ketenagakerjaan dan perumahan. Uraian ringkas masing-masing karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :
a. Karakteristik Sosial Demografi
Karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin meliputi :
1) Rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4,70 (perkotaan) dan 4,64 orang (perdesaan),
2) Prosentase perempuan sebagai kepala rumah tangga mencapai 14,18% (perkotaan) dan 12,30% (perdesaan),
3) Rata-rata usia kepala rumah tangga 48,57 tahun (perkotaan) dan 47,86 tahun (perdesaan),
4) Tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang diukur dengan indikator rata-rata lama sekolah yang dijalani kepala rumah tangga, yaitu 5,19 tahun (perkotaan) dan 4,06 tahun (perdesaan) atau setara dengan tamat SD dan SMP.
b. Karakteristik Pendidikan
Karakteristik pendidikan meliputi :
1) Prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf sebesar 14,30% (perkotaan) dan 19,57% (perdesaan),
2) Tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga yang Tidak Tamat SD dan Tamat SD, di perkotaan sebesar 37,13% dan 35,55% sedangkan di perdesaan sebesar 45,36% dan 41,15%.
c. Karakteristik Ketenagakerjaan
Karakteristik ketenagakerjaan meliputi :
1) Rata-rata prosentase pengeluaran rumah tangga per-kapita/bulan atau sumber penghasilan utama rumah tangga di perkotaan sebesar 14,71% yang tidak bekerja dan 30,02% yang bekerja di sektor pertanian sedangkan di perdesaan sebesar 8,67% yang tidak bekerja dan 68,99% yang bekerja di sektor pertanian.
2) Status pekerjaan kepala rumah tangga, antara lain : tidak bekerja dan berusaha sendiri (atau berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap), masing-masing sebesar 14,71% dan 40,86% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 8,67% dan 60,63%.
d. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan)
Karakteristik tempat tinggal meliputi :
1) Luas lantai < 8 M² sebanyak 31,01% (perkotaan) dan 29,61% (perdesaan),
2) Lantai tanah sebesar 18,68% (perkotaan) dan 31,21% (perdesaan),
3) Jenis atap rumah yang terbuat dari ijuk/rumbia sebesar 0,41% (perkotaan) dan 4,57% (perdesaan),
4) Jenis dinding yang terbuat dari kayu dan bambu, masing-masing sebesar 16,15% dan 17,88% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 30,57% dan 29,33%,
5) Jenis penerangan, yaitu petromax/aladin dan pelita/sentir/obor, masing-masing sebesar 0,56% dan 3,07% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 1,37% dan 19,71%,
6) Sumber air bersih yang meliputi mata air, sumur tak terlindung, air sungai, air hujan dll sebesar 49,70% (perkotaan) dan 63,99% (perdesaan),
7) Jenis jamban (jamban umum atau tidak ada) sebesar 34,95% (perkotaan) dan 51,66% (perdesaan),
8) Status pemilikan rumah tinggal yang bukan milik sendiri (sewa/kontrak, menumpang, dll) sebesar 14,93% (perkotaan) dan 7,27% (perdesaan).
Sama halnya dengan indikator, pada kenyataan di lapangan dapat diketahui bahwa tidak semua komunitas miskin menyandang semua karakteristik kemiskinan versi BPS atau karakteristik versi lainnya.  Karakteristik yang umum ditemui dalam komunitas miskin adalah : 1) jumlah anggota rumah tangga, 2) prosentase perempuan sebagai kepala rumah tangga, 3) prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf, 4) jenis lantai tanah, 5) jenis penerangan dan 6) status kepemilikan tempat tinggal/rumah.

[1] Analisis dan penghitungan tingkat kemiskinan tahun 2008, BPS Indonesia.
[2] Dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004 – 2009).
[3] Dikutip dari Pengantar Antropologi – Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan; 2009; http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/mkdu_isd/bab8-ilmu_pengetahuan_teknologi_dan_kemiskinan.pdf

Deskriminasi Sosial

Diskriminasi secara harfiah berarti "perbedaan". Arti dari diskriminasi sosial dan hukum berangkat dari arti harfiah, dalam konteks itu, diskriminasi berarti "perbedaan melanggar hukum antara orang atau kelompok". Diskriminasi ini memiliki arti memperlakukan orang secara berbeda atau kelompok (biasanya minoritas) berdasarkan karakteristik yang berbeda seperti asal, ras, asal negara, agama, keyakinan politik atau agama, kebiasaan sosial, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, cacat, usia, dll. Diskriminasi adalah prinsip yang mengatakan bahwa semua orang tidak lah sama. Diskriminasi dapat dilihat sebagai ekspresi intoleransi dan untuk perbuatan prasangka. Hal ini dapat menjadi diskriminasi pribadi atau di sebuah organisasi 

Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi adalah suatu perlakuan yang merugikan bagi seseorang, kelompok maupun masyarakat.

Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa ditemukan dalam hidup bermasyarakat. Diskriminasi disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan manusia.

Diskrimasi bisa terjadi dalam berbagai konteks dan bisa dilakukan oleh orang tunggal, institusi, perusahaan, bahkan oleh pemerintah. Ada berbagai perlakuan yang bisa dianggap sebagai diskriminasi, perlakuan diskrimasi yang signifikan adalah sebagai berikut:

  1. Seorang pedagang enggan berurusan dengan seorang pelanggan berdasarkan kelompok yang diwakillinya.
  2. Seorang majikan memberi gaji yang tidak setimpal dengan kontribusinya kepada karyawan berdasarkan kelompok yang diwakilinya.
  3. Sebuah institusi pendidikan memarahi seorang pelajar, meskipun dia memiliki kualifikasi dan masih memiliki kekosongan dalam institusi tersebut, karena individu tersebut mewakili kelompok tertentu.Diskriminasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak adil berdasarkan prinsip "setiap manusia harus diberi hak dan kesempatan yang sama
    • Pengertian Diskriminasi
    merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan kumpulan yang diwakili oleh individu berkenaan. Diskriminasi merupakan suatu amalan yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia. Ia berpunca daripada kecenderungan manusia untuk membeza-bezakan manusia.
    Diskriminasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak adil berdasarkan prinsip “setiap manusia harus diberi hak dan peluang yang sama”(Bahasa Inggeris: Equal Opportunity)
  4. Jenis-jenis Diskriminasi
Diskriminasi adalah perlakuan buruk yang ditujukan terhadap kumpulan manusia tertentu. Berdasarkan sasaran, diskriminasi boleh dibahagikan kepada beberapa jenis seperti dibawah:
  • Diskriminasi Umur
Inividu diberi layanan yang tidak adil kerana beliau tergolong dalam lingkungan umur tertentu. Misalnya, di negara Malaysia remaja sentiasa dianggap orang yang menimbulkan masalah sehingga timbul istilah “masalah remaja”.
  • Diskriminasi Jantina
Inidividu diberi layanan yang tidak adil kerana jantina mereka. Misalnya, seorang wanita menerima gaji yang lebih rendah dengan lelaki sejawatnya, walaupun sumbangan mereka adalah sama.
  • Diskriminasi Kesihatan
Individu diberi layanan yang tidak adil kerana mereka menderita penyakit atau kecacatan tertentu. Misalnya seorang yang pernah menderita sakit jiwa telah ditolak untuk mengisi jawatan yang tertentu, walaupun ia telah sembuh dan mempunyai keupayaan yang diperlukan.
  • Diskriminasi Ras
Individu diberi layanan yang tidak adil berdasarkan ras yang diwakili mereka.
  • Dikriminasi Agama
Individu diberi layanan yang tidak adil berdasarkan agama yang dianuti.
  1.  

Masyarakat Perkotaan dan Perdesaan

MASYARAKAT PERKOTAAN DAN MASYARAKAT PEDESAAN

 

Pengertian Masyarakat
Masyarakat dapat mempunyai arti yang luas dan sempit, dalam arti luas masyarakat adalah ekseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan sebagainya.
Syarat-syarat Menjadi Masyarakat
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpolan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat.
1. Ada sistem tindakan utama.
2. Saling setia pada sistem tindakan utama.
3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.
Tipe Masyarakat
Dipandang dari cara terbentuknya, masyarakat dapat dibagi dalam :
  1. masyarakat paksaan, misalnya Negara, masyarakat tawanan, dan lain-lain
  2. masyarakat merdeka, yang terbagi dalam :
  • masyarakat nature, yaitu masyarakat yang terjadi dengan sendirinya, seperti gerombolan, suku, yagn bertalian dengan hubungan darah atau keturunan
  • masyarakat kultur, yaitu masyarakat yang terjadi karena kepentingan keduniaan atau kepercayaan, misalnya koperasi, kongsi perekonomian, gereja dan sabagainya
Perbedaan Desa Dan Kota
  • Jumlah dan kepadatan penduduk
  • Lingkungan hidup
  • Mata pencaharian
  • Corak kehidupan sosial
  • Srtratifikasi sosial
  • Mobilitas sosial
  • Pola interaksi sosial
  • Solidaritas sosial
  • Kepedudukan dalam hierarki administrasi nasional
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain, bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan, jumlah penduduk semakin meningkat, tidak terkecuali di pedesaan. Perkembangan kota merupakan manifestasi dari pola-pola kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik, secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan seyogyanya mengandung 5 unsur yang meliputi :
  • Wisma : Unsure ini merupakan bagian ruang kota yang dipergunakan untuk tempat berlindung terhadap alam sekelilingnya, serta untuk melangsukan kegiatan-kegiatan sosial dalam keluarga.
  • Karya : Unsure ini merupakan syarat yang utama bagi eksistensi suatu kota, karena unsure ini merupakan jaminan bagi kehidupan bermasyarakat.
  • Marga : Unsure ini merupakan ruang perkotaan yang berfungsi untuk menyelenggarakan hubungan antara suatu tempat dengan tempat yang lainnya didalam kota.
  • Suka : Unsure ini merupakan bagian dari ruang perkotaan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan fasilitas hubiran, rekreasi, pertamanan, kebudayaan dan kesenian.
  • Penyempurna : Unsure ini merupakan bagian yang paling penting bagi suatu kota, tetapi belum secara tepat tercakup ke dalam ke empat unsur termasuk fasilita pendidikan dan kesehatan, fasilitas keagamaan, perkuburan kota dan jaringan utilitas kota.
Kota mempunyai juga peran dan fungsi eksternal, yakni seberapa jauh fungsi dan peranan kota tersebut dalam kerangka wilayah atau daerah-daerah yang dilingkupi dan melingkupinya.

Hubungan Timbal Balik Antara Desa – Kota

Interaksi Desa Kota
Interaksi dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi sehingga menghasilkan efek bagi kedua belah pihak. Hubungannya dengan desa dan kota, interaksi kedua tempat ini dipengaruhi oleh munculnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan dari kedua tempat.
Pola interaksinya tidak hanya terbatas pada faktor ekonomi saja tetapi lebih dari itu pola interaksinya berlangsung dalam seluruh aspek kehidupan. Selain itu, interaksi ini akan memunculkan gerakan penduduk dari kedua tempat sebagai bentuk nyatanya. Pola pergerakan penduduk dari desa ke kota atau sebaliknya dapat dengan mudah dipelajari melalui pendekatan keilmuan geogafi.
Karena pada dasarnya, pergerakan manusia tidak akan pernah luas dari aspek keruangan yang di dalamnya terkandung berbagai unsur baik unsur fisik, sosial, ekonomi, dan budaya. Sehubungan dengan adanya pola hubungan ini,
Mungkin kalian sekarang sudah mulai paham isi dari sinopsis yang menyatakan kalau desa dan kota itu ada hubungan. Hubungan ini dinamakan dengan interaksi wilayah yaitu wilayah desa dan Kota. Jadi menurutmu apa yang dimaksud dengan interaksi wilayah ( Spatial Interaction )
Interaksi wilayah (Spatial Interaction) adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara dua wilayah atau lebih, yang dapat melahirkan gejala, kenampakkan dan permasalahan baru, secara langsung maupun tidak langsung, sebagai contoh antara kota dan desa.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi antar wilayah memiliki tiga prinsip pokok sebagai berikut :
1. Hubungan timbal – balik terjadi antara dua wilayah atau lebih
2. Hubungan timbal balik mengakibatkan proses pengerakan yaitu :
  • Pergerakan manusia (Mobilitas Penduduk)
  • Pergerakan informasi atau gagasan, misalnya : informasi IPTEK, kondisi suatu wilayah
  • Pergerakan materi / benda, misalnya distribusi bahan pangan, pakaian, bahan bangunan dan sebagainya
3. Hubungan timbal balik menimbulkan gejala, kenampakkan dan permasalahan baru yang bersifat positif dan negatif, sebagai contoh :
  • kota menjadi sasaran urbanisasi
  • terjadinya perkawinan antar suku dengan budaya yang berbeda
4. Aspek Interaksi Desa – Kota
  • Di antara kalian ada yang bisa menyebutkan aspek–aspek interaksi desa – kota? Dalam interaksi desa – kota terdapat beberapa aspek penting yang timbul akibat interaksi tersebut. Aspek interaksi desa – kota adalah sebagai berikut:
   Aspek Ekonomi, meliputi :
  • Melancarkan hubungan antara desa dengan kota
  • Meningkatkan volume perdagangan antara desa dengan kota
  • Menimbulkan perubahan orientasi ekonomi penduduk desa
   Aspek Sosial, meliputi :
  • Terjadinya mobilitas penduduk desa dan kota
  • Terjadinya saling ketergantungan antara desa dengan kota
  • Meningkatnya wawasan warga desa akibat terjalinnya pengaruh hubungan antara warga desa dengan warga kota
    Aspek Budaya meliputi :
  • meningkatnya pendidikan di desa yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sekolah dan siswanya yang bersekolah
  • Terjadinya perubahan tingkah laku masyarakat desa yang mendapatkan pengaruh dari masyarakat kota
  • Potensi sumber budaya yang terdapat di desa hingga melahirkan arus wisatawan masuk desa
     Manfaat Interaksi Desa – Kota
Menurut pemikiran kalian adakah manfaat dengan adanya interaksi desa – kota? Dengan adanya interaksi desa – kota dapat memberikan beberapa manfaat bagi desa maupun bagi kota, diantaranya :
1. meningkatnya hubungan sosial ekonomi antara penduduk desa dan kota
2. pengetahuan penduduk desa meningkat
3. dapat menumbuhkan arti pentingnya pendidikan bagi penduduk desa
Masyarakat Perkotaan
Masyarakat perkotaan sering disebut urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Ciri – Ciri Masyarakat Perkotaan sebagai berikut :
  1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa
  2. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Manusia individual (perorangan). Di kota – kota kehidupan keluarga sering sukar untuk disatukan , sebab perbedaan kepentingan paham politik , perbedaan agama dan sebagainya .
  3. Jalan pikiran rasional, menyebabkan interaksi – interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.
  4. pembagian kerja di antra warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata
  5. kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa
  6. pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu
  7. perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.
Aspek positif dan negatif
Aspek positif:
  • adanya peran saling melengkapi antara desa dan kota
  •  kota dan desa adalah saling membutuhkan
  • kemajuan desa dapat memacu kemajuan kota begitu sebaliknya
Aspek negatif:
  • desa biasanya lebih direndahkan dari kota
  •  masyarakat kota biasanya tidak bisa menghargai adat yang ada di desa
  • kesenjangan sosial yang jauh antar masyarakat kota dan desa dapat menyebabkan perpecahan.
Lima unsur lingkungan perkotaan:
  • gedung bangunan perkotaan
  • kendaraan motor lalu lintas
  • wilayah industri
  • polusi udara
  • limbah pabrik
fungsi external kota:
  • sebagai tempat melakukan politik
  • sebagai tempat untuk memperluas jaringan usaha
  • sebagai tempat untuk memperoleh ilmu yang tinggi
  • sebagai sarana produksi
Masyarakat Pedesaan
Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan sendiri, masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga / anggota masyarakat yang sangat kuat yang hakekatnya.
Ciri-ciri desa :
Menurut Lowrrey Nelson (ada 16 ciri) :
  • Mata pencaharian : agraris homogen
  • Ruang kerja : terbuka, terletak disawah, lading dsb
  • Musim/ cuaca : sgt penting untuk tentukan ms tanam/panen
  • keahlian/ ketrampilan : umum dan merata untuk setiap orang
  • kesaatuan kerja keluarga : sangat umum
  • jarak rumah dg tempat kerja : berdekatan
  • kepadatan penduduk : rendah / sedikit
  • besarnya kelompok : sedikit / kecil
  • kontak social : sedikit / pribadi
  • rumah : tradisional / pribadi
  • lembaga / institusi : kecil / sederhana
  • control social : adapt istiadat, kebiasaan
  • sifat dari kelompok : bergerak dari kegiatan primer
  • mobilitas penduduk : rendah
  • status social : stabil
  • stratifikasi social : sedikit
Menurut Soerjono Soekanto :
  • Kehidupan masyarakat sangat erat dengan alam
  • Kehidupan petani sangat bergantung pada musim
  • Desa merupakan kesatuan social dan kesatuan kerja
  • Struktur perekonomian bersifat agraris
  • Hubungan antar anggota masyarakat desa berdasar ikatan kekeluargaan
  • Perkembangan social relatif lambat
  • Kontrol social ditentukan oleh moral dan hukum informal
  • Norma agama dan adat masih kuat .
Ciri-ciri desa di Indonesia
  • Masyarakatnya sangat dekat dengan alam
  • Kehidupan petani sangat bergantung dengan musim
  • Merupakan kesatuan social dan kesatuan kerja
  • Jumlah penduduk relative kecil dan wilayah relatif luas
  • Struktur ekonomi masyarakat dominant agraris
  • Ikatan kekeluargaan erat
  • Sosial control ditentukan oleh nilai moral dan hukum internal/ hk. Adapt
  • Proses social berjalan lambat
  • Penduduk berpendidikan rendah
Menurut Dirjen Bangdes(Pembangunan Desa)
  • Perbandingan lahan dengan manusia(man-land ratio) cukup besar artinya
  • lahan dipedesaan relatif luas dari pada jumlah penduduk, sehingga
  • kepadaatan penduduknya masih rendah.
  • Lapangan kerja yang dominant agraris
  • Hubungan warga desa akrab
  • Tradisi lama masih berlaku.
Ciri – Ciri Masyarakat Desa antara lain :
  1. Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.
  2. Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan
  3. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian
  4. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya
  5. Sistem gotong royong, pembagian kerja tidak berdasarkan keahlian
  6. Cara bertani sangat tradisional dan tidak efisien karena belum mengenal mekanisasi dalam pertanian
  7. Golongan orang tua dalam masyarakat pedesaan memegang peranan penting
Macam-Macam Pekerjaan Gotong Royong
  1. bertani
  2. membangun rumah dan tempat peribadatan
  3. berkebun
  4. acara-acara kebudayaan
  5. membersihkan lingkungan bersama
  6. ronda untuk menjaga keamanan
  7. bahu-membahu dalam pembangunan desa
Hakikat dan Sifat Masyarakat Pedesaan
Menurut Ferdinand Tonies: “Masyarakat pedesaan adalah masayarakat gemeinschaft (paguyuban), dan paguyubanlah yang menyebabkan orang-orang kota menilai sebagai masyarakat itu tenang harmonis, rukun dan damai dengan julukan masyarakat yang adem ayem.” Tetapi sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan kita ini mengenal bermacam-macam gejala, diantaranya sebagai berikut:
a) Konflik (pertengkaran)
Pertengkaran terjadi biasanya berkisar pada masalah sehari-hari rumah tangga dan sering menjalar keluar rumah tangga. Sedang sumber banyak pertengkaran itu rupa-rupanya berkisar pada masalah kedudukan dan gengsi, perkawinan, dsb.
b) Kontroversi (pertentangan)
Pertentangan ini bisa disebabkan oleh perubahan konsep-konsep kebudayaan (adat-istiadat), psikologi atau dalam hubungannya dengan guna-guna (black magic).
c) Kompetisi (persiapan)
Masyarakat Pedesaan adalah manusia yang mempunyai sifat-sifat sebagai manusia biasa dan mempunyai saingan dengan manifestasi sebagai sifat ini. Oleh karena itu maka wujud persaingan itu bisa positif dan bisa negatif.
d) Kegiatan pada Masyarakat Pedesaan
Masyarakat pedesaan mempunyai penilaian yang tinggi terhadap mereka yang dapat bekerja keras tanpa bantuan orang lain, jadi jelas bahwa masyarakat pedesaan bukanlah masyarakat yang senang diam-diam tanpa aktivitas.
Sistem Nilai Budaya Petani Indonesia:
a) Pada dasarnya para petani menganggap bahwa hidupnya itu sebagai sesuatu hal yang buruk, penuh dosa, kesengsaraan. Tetapi mereka menyadari bahwa keburukan harus dihadapi sebaik-baiknya dengan penuh usaha dan ikhtiar.
b) Mereka beranggapan bahwa bekerja untuk hidup dan kedudukan jika perlu.
c) Mereka berorientasi masa sekarang, kurang memperdulikan masa depan dan berharap datangnya kembali sang ratu adil yang membawa kekayaan bagi mereka.
d) Mereka menganggap bencana harus diterima dan menyesuaikan diri dengan alam, kurang adanya usaha untuk menguasainya.
e) Untuk menghadapi masalah mereka bergotong-royong dalam menyelesaikannya.
Unsur-unsur Desa
Desa mempunyai beberapa unsur diantaranya :
a) Daerah, merupakan luas dan batas lingkungan geografis setempat.
b) Penduduk, hal yang meliputi jumlah pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat.
c) Tata kehidupan, menyangkut seluk-beluk kehidupan masyarakat desa.
Fungsi Desa
1. Sebagai suatu daerah pemberian bahan makanan pokok seperti padi, jagung, ketela, disamping bahan makanan lain seperti kacang, kedelai, buah-buahan, dan bahan makanan lain yang berasal dari hewan.
2. Sebagai lumbung bahan mentah dan tenaga kerja.
3. Dari segi kegiatan kerja desa dapat merupakan desa agraris, desa manufaktur, desa industri, desa nelayan, dsb.
Peranan yang menyangkut produksi pangan yang akan menentukan tingkat kerawanan dalam jangka pembinaan ketahanan nasional. Oleh karena itu, peranan masyarakat pedesaan dalam mencapai sasaran swasembada pangan adalah penting sekali, bahkan bersifat vital.
PERBEDAAN MASYARAKAT PEDESAAN DAN PERKOTAAN
  1. Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam, Masyarakat perdesaan berhubungan kuat dengan alam, karena lokasi geografisnyadi daerah desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam.
  2. Pekerjaan atau Mata Pencaharian, Pada umumnya mata pencaharian di dearah perdesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yg bermata pencaharian berdagang, sebab beberapa daerah pertanian tidak lepas dari kegiatan usaha.
  3. Ukuran Komunitas, Komunitas perdesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan.
  4. Kepadatan Penduduk, Penduduk desa kepadatannya lbih rendah bila dibandingkan dgn kepadatan penduduk kota,kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan dgn klasifikasi dari kota itu sendiri.
  5. Homogenitas dan Heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku nampak pada masyarakat perdesa bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya penduduknya heterogen, terdiri dari orang-orang dgn macam-macam perilaku, dan juga bahasa, penduduk di kota lebih heterogen.
  6. Diferensiasi Sosial, Keadaan heterogen dari penduduk kota berindikasi pentingnya derajat yg tinggi di dlm diferensiasi Sosial.
  7. Pelapisan Sosial, Kelas sosial di dalam masyarakat sering nampak dalam bentuk “piramida terbalik” yaitu kelas-kelas yg tinggi berada pada posisi atas piramida, kelas menengah ada diantara kedua tingkat kelas ekstrem dari masyarakat.
Sumber :
http://cahyamenethil.wordpress.com/2010/11/29/masyarakat-perkotaan-dan-masyarakat-pedesaan/
http://krblanglangbuana.wordpress.com/2012/03/22/masyarakat-perkotaan-dan-masyarakat-pedesaan/
http://indahpurnamawati.blogdetik.com/category/ciri-ciri-desa/
http://sylviapinklovers.blogspot.com/2012/06/perbedaan-masyarakat-pedesaan-dan.html 
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/10/pengertian-masyarakat-pedesaan/
http://vncyssie.wordpress.com/2010/11/24/masyarakat-pedesaan-dan-masyarakat-perkotaan/