Profesi pekerjaan sosial memandang kemiskinan sebagai
masalah yang multidimensional. Ellis dalam Suharto (2006) mengatakan
bahwa “dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan
sosial-psikologis”. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan
sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumber
daya dalam konteks ekonomi tidak hanya menyangkut aspek finansial tetapi
meliputi semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Secara politik, kemiskinan
dilihat dari rendahnya akses terhadap kekuasaan. Pengertian kekuasaan
dalam konteks ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan
kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumber daya.
Tiga pertanyaan mendasar berkaitan dengan akses terhadap kekuasaan
adalah : 1) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumber daya yang ada
dalam masyarakat, 2) bagaimana orang dapat ikut ambil bagian dalam
pembuatan keputusan penggunaan sumber daya yang tersedia dan 3)
bagaimana kemampuan orang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan. Kemiskinan secara
sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial
yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan
produktivitas.
Suharto (2006 : 148 – 149) mengatakan bahwa ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok yang paling miskin (destitute)
atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara
absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan (umumnya tidak
memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses
terhadap berbagai pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini
memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif
memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar.
3. Kelompok rentan (vunerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor”
(agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di
sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi
“miskin” dan bahkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Kemiskinan oleh profesi pekerjaan sosial lebih
dipandang sebagai persoalan-persoalan struktural tetapi dalam upaya
pemecahannya pekerjaan sosial menekankan keberfungsian sosial sebagai
upaya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang menjerat individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat. Strategi pekerjaan sosial dalam
menanggulangi kemiskinan adalah peningkatan kemampuan individu dan
kelompok dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan
statusnya. Oleh karena itu, untuk dapat merancang model intervensi dan
strategi pemecahan masalah yang tepat maka lebih dulu perlu diketahui
mengenai pengertian kemiskinan, karakteristik, indikator dan dimensinya.
A. Pengertian
Menurut Sarasutha dan Noor dalam Supadi dan Achmad
Rozany (2008 : 3 – 4) “kemiskinan secara konseptual dapat dibedakan atas
tiga pengertian, yaitu kemiskinan subyektif, kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif. Dalam pengertian kemiskinan subyektif, setiap orang
mendasarkan pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa kebutuhannya
tidak terpenuhi secara cukup walaupun secara absolut atau relatif
sebenarnya orang itu tidak tergolong miskin”. Kemiskinan subyektif
terjadi karena individu menyamaratakan keinginan (wants) dengan kebutuhan (needs).
Pengertian kemiskinan absolut adalah kondisi di mana seseorang atau
keluarga memiliki pendapatan tetapi tidak mencukupi untuk pemenuhan
kebutuhan minimumnya sehari-hari secara efisien. Pengertian kemiskinan
relatif berkaitan dengan konsep relative deprivation di mana
kemampuan pemenuhan kebutuhan seseorang atau sebuah keluarga berada
dalam posisi relatif terhadap anggota masyarakat lain yang tinggal dalam
satu wilayah. Konsep ini terkait erat dengan ketimpangan pendapatan.
Pengertian kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif
yang dikemukakan oleh Supadi dan Achmad Rozany (2008) berbeda dengan
pengertian kemiskinan yang dikemukakan oleh Badan Pusat Statistik.
Menurut BPS (2008), berbagai masalah kemiskinan dapat dikelompokkan
dalam empat terminologi, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif,
kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan absolut
menurut BPS, ditentukan berdasarkan ketidakmampuan seseorang atau
sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan pokok minimumnya seperti
pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Kebutuhan pokok
minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang dan
nilai minimum kebutuhan dasar yang dikenal dengan istilah garis
kemiskinan. Oleh karena itu, penduduk yang pendapatannya di bawah garis
kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.
Pengertian kemiskinan absolut lebih banyak digunakan
oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada berbagai
sektor pelayanan publik, misalnya di bidang pangan, kesehatan,
pendidikan dan perumahan. Untuk mengukur kemiskinan dan kriteria
penduduk miskin, pemerintah antara lain menggunakan pendekatan
pendapatan atau pengeluaran penduduk untuk pemenuhan kebutuhan dasar
minimum, pendekatan rata-rata per-kapita dan pendekatan klasifikasi
keluarga sejahtera seperti yang digunakan oleh BKKBN. Pada tahun 2004
BPS menggunakan pendekatan pengeluaran minimum makanan yang setara
dengan 2.100 kkal/hari ditambah pengeluaran bukan makanan (perumahan dan
fasilitasnya, sandang, kesehatan, pendidikan, transport dan
barang-barang lainnya). Pada tahun 2008, BPS menetapkan lagi 8 variabel
yang dianggap layak dan operasional sebagai indikator untuk menentukan
rumah tangga miskin, yaitu : 1) luas lantai per-kapita, 2) jenis lantai,
3) air minum/ketersediaan air bersih, 4) jenis jamban/wc, 5)
kepemilikan aset, 6) pendapatan per-bulan, 7) pengeluaran, khususnya
prosentase pengeluaran untuk makanan dan 8) konsumsi lauk pauk.
Pendekatan yang digunakan BPS relatif lebih sederhana
dan mudah dilakukan pengukurannya dibandingkan beberapa pendekatan dan
pengertian lainnya mengenai kemiskinan. Namun pendekatan dan pengukuran
ini mempunyai kecenderungan mengabaikan perkembangan standar kebutuhan
minimum manusia yang mengikuti perkembangan dan kemajuan pembangunan
maupun teknologi. Sebagai contoh, sebelum era tahun 2000 kebutuhan
masyarakat terhadap informasi dan komunikasi dapat terpenuhi melalui
media cetak (koran dan majalah) dan media elektronik (radio dan
televisi). Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kebutuhan informasi dan
komunikasi masyarakat sudah mengalami peningkatan yang sangat tinggi
terhadap televisi kabel, telepon kabel, telepon seluler dan internet.
Penggunaan definisi kemiskinan absolut dalam
perencanaan program penanggulangan kemiskinan yang ditetapkan oleh
pemerintah adalah karena definisi dan pendekatan yang tersebut dapat
digunakan untuk menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu
atau perkiraan dampak suatu proyek terhadap kemiskinan. Pendekatan ini
juga merupakan pendekatan yang digunakan oleh Bank Dunia untuk dapat
membandingkan angka kemiskinan antar negara. Bank Dunia menggunakan
pendekatan ini karena memudahkan dalam menentukan kemana dana bantuan
akan disalurkan dan kemajuan yang dicapai suatu negara dapat dianalisis.
Pengertian kemiskinan relatif menurut BPS (2008)
adalah “suatu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang
belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan
ketimpangan distribusi pendapatan”. BPS mengemukakan bahwa standar
minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu
tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk miskin. Ukuran
kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan atau
pengeluaran penduduk. Pengertian kemiskinan relatif sebagaimana yang
dikemukakan oleh BPS lebih menunjuk pada kesenjangan pendapatan dan
pengeluaran antar wilayah dalam suatu negara atau antar negara di dunia.
Pengertian kemiskinan relatif menurut BPS cenderung mengarah pada
ukuran kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap masyarakat
sedangkan pengertian kemiskinan relatif yang dikemukakan oleh Supadi dan
Akhmad Rozany lebih menunjuk pada pembandingan kondisi obyektif tingkat
kesejahteraan seseorang terhadap orang lain dalam suatu wilayah atau
suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda wilayah. Menurut
Suparlan dalam Masjkuri (2007 : 40 – 41),
“kemiskinan adalah suatu standar tingkat
hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada
sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan
yang umum berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Standar kehidupan yang
rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap kesehatan,
kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai
orang miskin”.
Pengertian yang dikemukakan Suparlan memandang
kemiskinan sebagai suatu masalah yang relatif pada seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu wilayah. Pengertian kemiskinan ini juga
merujuk pada perbedaan status sosial dan ekonomi anggota-anggota
masyarakat dalam suatu komunitas. Dalam pengertian kemiskinan yang
dikemukakan oleh Sarasutha dan Noor maupun Suparlan terlihat bahwa tidak
ada ukuran yang baku yang digunakan untuk menetapkan suatu kondisi
individu atau kelompok sebagai kondisi miskin. Tidak adanya pengukuran
yang baku mengenai kondisi miskin yang relatif tersebut di satu sisi
memudahkan untuk menentukan kelompok sasaran pemberdayaan berdasarkan
pengamatan dan analisis terhadap perbedaan kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat dalam suatu komunitas. Namun di sisi lain, tidak adanya
ukuran standar yang baku untuk menetapkan tingkat kemiskinan dalam
pengertian kemiskinan relatif ini mempunyai kelemahan, yaitu tidak ada
standar kondisi yang ingin dicapai dalam program pemberdayaan dan
kemiskinan relatif ini akan terus terjadi karena ketika kelompok sasaran
diberdayakan dan mencapai tingkat kesejahteraan tertentu selalu ada
kemungkinan kelompok keluarga mampu yang dijadikan pembanding meningkat
lagi kualitas hidup dan kesejahteraannya.
Berbeda halnya dengan BPS yang menetapkan garis
kemiskinan dalam terminologi kemiskinan relatif. Garis kemiskinan untuk
setiap sebuah provinsi di Indonesia tidak sama garis kemiskinan di
provinsi lainnya. Demikian pula garis kemiskinan masing-masing
kabupaten/kota dalam wilayah provinsi yang sama. Sebagai contoh, BPS
(2008) menetapkan garis kemiskinan (kapita/bulan) perdesaan di Jawa
Barat
[1]
sebesar Rp.155.367,- sedangkan di perkotaan sebesar Rp. 190.824,-.
Perbedaan ini terjadi karena harga-harga kebutuhan dasar minimum di
perdesaan yang relatif lebih kecil daripada di perkotaan. Perbedaan
garis kemiskinan juga disebabkan oleh perbedaan jenis kebutuhan minimum,
misalnya : masyarakat miskin perdesaan biasanya mempunyai rumah sendiri
sekalipun kondisinya kurang layak sedangkan masyarakat miskin di
perkotaan umumnya tinggal di rumah sewa atau kontrakan.
Dari beberapa pengertian dan penjelasan mengenai
kemiskinan relatif, penulis mencermati adanya kaitan langsung antara
pengertian kemiskinan relatif dengan pengertian kemiskinan subyektif.
Seseorang atau sekelompok orang merasa dirinya miskin bukan hanya karena
tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya tetapi mereka merasa
miskin karena membandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya
mempunyai kehidupan dan status sosial ekonomi yang lebih baik. Demikian
pula sebaliknya, ada orang atau sekelompok orang yang memandang orang
lain sebagai orang miskin karena membandingkan kemampuan dirinya
terhadap ketidakmampuan orang atau kelompok lain tersebut.
Individu atau kelompok yang merasa dirinya miskin
tetapi mempunyai motivasi tinggi untuk mengatasi masalahnya cenderung
melakukan berbagai cara dan usaha untuk keluar dari kondisi miskin yang
dialaminya. Namun pada individu atau kelompok tertentu kondisi miskin
tersebut dianggap sebagai suatu hal yang biasa, berlangsung dalam waktu
yang lama bahkan diturunkan dari generasi ke generasi. Sikap dan
pandangan kelompok yang menganggap kemiskinan sebagai hal yang biasa
oleh Taylor (2007) disebut sebagai ’kondisi membiasanya penderitaan’.
Taylor mengatakan bahwa :
“Pola hidup sederhana ada dalam
komunitas-komunitas yang agak stabil dan lebih kuat, bahkan pola itu
semakin meningkat. Lingkungan tempat mereka lahir dan bertumbuh, dalam
banyak hal, lebih mudah dihadapi daripada kebudayaan baru yang perlu
penyesuaian bahkan mungkin mengkhawatirkan. Ciri pokok “kondisi
membiasanya penderitaan” dalam suatu lingkungan adalah bahwa kondisi
tersebut sangat sulit disadari oleh orang-orang yang hidup di dalamnya.
Dengan demikian, apa yang tampak dari luar sebagai kondisi hidup yang
mengerikan, oleh orang-orang yang berada di dalam, dilihat sebagai
realitas hidup harian yang tidak menutup kemungkinan bagi berkembangnya
rasa senang atau kepuasan”.
Kemiskinan yang digambarkan oleh Taylor menunjukkan
bahwa ada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak menyadari kemiskinan
yang dialaminya sebagai suatu masalah. Sekalipun mereka memandang
kemiskinan sebagai suatu masalah tetapi tidak berupaya untuk mengatasi
masalah dan keluar dari kondisi miskin yang memerangkap dirinya. Kondisi
membiasanya penderitaan dan perangkap kemiskinan sebagaimana
digambarkan Taylor utamanya dapat dilihat pada kelompok-kelompok yang
secara turun temurun selalu berada dalam stratifikasi sosial paling
bawah. Kelompok masyarakat seperti ini cenderung menerima kemiskinan
sebagai nasib. Mereka tidak menangkap peluang dalam perkembangan dan
pembangunan di sekitarnya, bahkan seringkali enggan atau takut untuk
memulai sesuatu yang baru.
Terbiasanya suatu kelompok dalam kondisi miskin yang
memerangkapnya, tidak hanya disebabkan oleh sikap pasrah terhadap nasib
tetapi dipengaruhi juga oleh budaya kemiskinan (cultural of poverty). Suparlan (2003 : 4) dalam term of reference (TOR) yang disusunnya untuk seminar mengenai segi sosial dan ekonomi pemukiman kumuh mengatakan bahwa :
“permasalahan informal dan aksesibiliti
(warga di pemukiman kumuh) mungkin lebih tepat kalau dilihat dalam
kaitannya dengan kebudayaan kemiskinan yang mereka miliki. Sebab bukan
hanya mereka itu tidak mempunyai akses tetapi seringkali juga mereka
tidak bersedia untuk menggunakan atau salah menggunakan fasilitas yang
disediakan oleh pemerintah melalui pranata-pranatanya”.
Dari pernyataan Suparlan tersebut dapat dilihat bahwa
ada kelompok-kelompok miskin tertentu yang sulit untuk diberdayakan
sekalipun sudah mendapat bantuan dari pemerintah karena sikap dan
perilakunya dipengaruhi budaya kemiskinan. Menurut Lewis dalam Suparlan
(2003 : 4 – 6) ”kebudayaan kemiskinan berkembang dalam kehidupan
masyarakat orang miskin yang dari generasi ke generasi berikutnya hidup
dalam kemiskinan”. Definisi budaya kemiskinan menurut Lewis dalam
Masjkuri (2007 : 40) adalah ”suatu adaptasi atau penyesuaian dan
sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal
mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis
dan berciri kapitalisme”.
Pengertian budaya miskin (cultur of poverty)
yang dikemukakan Oscar Lewis digunakan berbagai pihak sebagai rujukan
untuk merumuskan pengertian kemiskinan kultural termasuk oleh BPS.
Menurut BPS (2008), ”kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor
adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap
melekat dengan indikator kemiskinan”. BPS berpendapat bahwa indikator
tersebut seyogyanya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap dapat
dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu
yang menghalangi seseorang untuk melakukan perubahan ke arah tingkat
kehidupan yang lebih baik. Pengertian kemiskinan kultural yang
dikemukakan BPS mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang
disebabkan oleh faktor budaya, tradisi dan kebiasaan yang cenderung
mengarahkan masyarakat pada sikap apatis, ”nrimo” atau pasrah pada
nasib, boros dan bahkan tidak kreatif sekalipun ada bantuan dari pihak
luar. Selain itu, kemiskinan kultural tidak terjadi secara tiba-tiba
tetapi disebabkan oleh proses perubahan sosial secara fundamental,
seperti transisi dari budaya feodalisme kepada budaya kapitalisme.
Dalam konteks budaya kemiskinan dan kemiskinan
kultural, kondisi miskin yang dialami masyarakat juga terjadi karena
adanya legalisasi dan penguatan komunitas terhadap sikap dan perilaku
negatif anggota-anggotanya. Rendahnya motivasi dan minat kompetisi warga
untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya tidak dipandang sebagai suatu
masalah oleh komunitas bahkan sebaliknya apabila ada warga yang
menunjukkan tingkat partisipasi dan tindakan proaktif yang tinggi justru
akan menimbulkan kecemburuan sosial, dianggap sebagai upaya untuk
menonjolkan diri, menimbulkan persaingan dan kesenjangan di antara
mereka sendiri. Hal ini terlihat cukup jelas dalam komunitas yang
menjadi latar penelitian. Kegagalan dalam pengelolaan bantuan oleh
sekelompok warga yang pernah menerima bantuan modal usaha dari
pemerintah dipandang sebagai hal biasa. Komunitas tidak berupaya untuk
saling mendukung agar warganya menjadi lebih sejahtera. Beberapa orang
warga bahkan seolah-olah khawatir apabila status sosial ekonominya
tersaingi oleh warga lain. Ini terlihat dari keengganan warga untuk
bekerja sama dalam program pemberdayaan secara mandiri dan kecenderungan
penyaluran bantuan yang dibagikan secara merata.
Selain pengertian kemiskinan subyektif, absolut dan
relatif, pengertian kemiskinan yang juga perlu digunakan untuk memahami
kondisi kemiskinan masyarakat adalah pengertian kemiskinan struktural.
Menurut Suyanto dalam BPS (2008 : 7 – 8),
“kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang
ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur atau tatanan
kehidupan yang tidak menguntungkan. Kemiskinan dalam kondisi struktur
demikian tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang alami atau
faktor-faktor pribadi dari orang miskin itu sendiri melainkan oleh sebab
tatanan sosial yang tidak adil. Tatanan yang tidak adil ini menyebabkan
banyak masyarakat gagal untuk mengakses sumber-sumber yang dibutuhkan
untuk mengembangkan dirinya maupun untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya”.
Pengertian kemiskinan struktural seperti
dikemukakan Suyanto menggambarkan bahwa kemiskinan yang dialami
masyarakat disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari luar diri
masyarakat itu sendiri. Faktor-faktor tersebut utamanya ditengarai
berasal dari pemerintah dan struktur-struktur kekuasaan yang berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat. Faktor-faktor penyebab dalam pengertian
kemiskinan struktural antara lain kebijakan sosial yang tidak berpihak
kepada masyarakat, penguasaan sumber daya secara berlebihan oleh
pemerintah, pembangunan yang tidak dialokasikan secara adil dan
terbatasnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berperan
sebagai subyek dalam pembangunan.
Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan,
pemerintah melalui Bappenas (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai
“kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan
perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat”
[2].
Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang
mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan,
mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya.
Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi,
tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan
bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam
menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari
hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat
menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan
perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain
meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, rasa aman dan perlakukan atau ancaman tindak kekerasan
dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi
perempuan maupun laki-laki.
Definisi kemiskinan menurut Bappenas cenderung
mengarah pada terminologi kemiskinan struktural karena di dalamnya
terkandung makna dan maksud negara untuk memberi kesempatan yang sama
kepada seluruh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagaimana
hak-hak dasarnya sebagai manusia dan sebagai warga negara. Perumusan
definisi ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan Bappenas sebagai
suatu lembaga perangkat pemerintah yang mempunyai tugas untuk merancang
berbagai kebijakan dan program pembangunan untuk masyarakat.
Pengertian kemiskinan yang kompleks dan disebabkan
oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar diri orang
miskin dikemukakan oleh Michel Mollat dalam Muller (2006 : 8). Menurut
Mollat, kemiskinan dapat dilukiskan sebagai berikut :
“Orang miskin adalah mereka yang tetap
atau sementara dalam keadaan lemah, tergantung dan remeh, dalam keadaan
kekurangan yang berbeda-beda menurut zaman dan pola masyarakat serta
dalam keadaan tak berdaya dan terhina. Orang miskin tidak memiliki uang,
koneksi, pengaruh, kuasa, pengetahuan, keterampilan teknis, kelahiran
yang terhormat, kekuatan fisik, kemampuan intelektual, kebebasan pribadi
bahkan harkat manusia. Mereka hidup dari hari ke hari dan tidak punya
peluang sedikit pun untuk melepaskan diri dari keadaannya tanpa bantuan
orang lain. Definisi semacam ini meliputi semua orang yang tersingkirkan
dan dicabut hak-haknya, semua orang aneh dan semua kelompok marginal”.
Definisi yang dikemukakan oleh Mollat secara spesifik
menunjuk kepada kelompok-kelompok masyarakat yang mengalami masalah
ganda dalam kemiskinannya. Gambaran orang miskin tersebut menunjukkan
bahwa selain tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, orang miskin mengalami berbagai hambatan yang berasal dari
dalam dirinya serta menerima perlakuan dari luar yang membuatnya semakin
terpuruk. Selain pengertian-pengertian kemiskinan sebagaimana telah
dikemukakan, salah satu pengertian kemiskinan yang perlu dipertimbangkan
adalah pengertian kemiskinan yang diungkapkan oleh masyarakat itu
sendiri. Standar dan indikator yang digunakan oleh banyak pihak
seringkali menyebabkan masyarakat dipaksa atau terpaksa masuk dalam
sejumlah program yang tidak difahaminya dan tidak sesuai dengan
kebutuhannya. Dampak negatif dari perlakuan semacam ini adalah lekatnya
stempel kemiskinan pada suatu komunitas yang sebelumnya tidak merasakan
adanya masalah. Dampak negatif lainnya adalah pemborosan anggaran untuk
berbagai program yang tidak membawa perubahan signifikan terhadap
kondisi kehidupan masyarakat.
Selain ciri-ciri yang sudah disebutkan, beberapa ciri yang dikemukakan Suparlan (2003 : 5 – 6) adalah :
1. Kurang atau tidak efektifnya partisipasi dan
integrasi golongan miskin dalam pranata-pranata utama yang ada dalam
masyarakat luas. Sebabnya adalah karena lingkungan kemiskinan dan
kekumuhan yang disebabkan oleh langkanya sumber-sumberdaya ekonomi,
menghasilkan adanya segregasi dan diskriminasi, ketakutan, kecurigaan
dan apatis. Ini semua menghasilkan adanya jarak sosial antara mereka
dengan masyarakat luas.
2. Muncul dan berkembangnya pranata-pranata hutang
menghutang, gadai-menggadai, tolong menolong di antara sesama tetangga
secara spontan maupun melalui arisan ataupun perkumpulan-perkumpulan
sejenis, tidak adanya kesetiaan kerja terhadap satu jenis pekerjaan yang
ditekuni atau dengan kata lain cenderung untuk mudah pindah pekerjaan,
mengerjakan pekerjaan rangkap asal menguntungkan. Spekulasi atau
untung-untungan juga menjadi salah satu ciri dari kebudayaan miskin.
Karenanya jenis pekerjaan yang biasanya mereka tekuni adalah di sektor
informal yang memudahkan mereka untuk berganti bidang kegiatannya, yang
tidak harus mendapat pengesahan hukum untuk melakukannya, yang tidak
harus memanfaatkan pranata-pranata atau fasilitas-fasilitas yang berlaku
dalam masyarakat luas, dan pada hakekatnya bersifat spekulasi yang
keuntungannya langsung dapat dihitung seketika itu juga.
3. Adanya semacam pemberontakan tersembunyi terhadap
diri mereka sendiri maupun terhadap masyarakat, tetapi di lain pihak
juga ada sikap-sikap pasrah dan masa bodoh terhadap nasib yang mereka
jalani maupun terhadap mereka yang dianggap mempunyai kekuasaan sosial
dan ekonomi. Karena itu dengan mudah mereka itu menjadi penurut dan
tunduk kepada petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah tetapi dengan
mudah mereka itu juga lupa atau melupakannya bila dianggap terlalu ruwet
dan hanya menyulitkan diri serta tidak ada keuntungannya untuk diikuti.
Sikap seperti ini juga menghasilkan sikap tidak peduli atau masa bodoh
kepada orang lainnya, termasuk tetangganya, dan hanya memikirkan
kepentingan diri sendiri.
4. Wanita atau lebih khusus lagi diperlakukan bukan
hanya sebagai ibu rumah tangga tetapi juga sebagai penghasil nafkah bagi
kelangsungan hidup rumah tangga. Anak bukan hanya sebagai besaran ego
yang diperlakukan sebagai mainan untuk disayangi tetapi juga membantu
atau tenaga kerja pencari nafkah orang tua. Anak juga diperlakukan
sebagai rasa aman dan keyakinan diri serta sebagai sandaran masa depan
kesejahteraan hidup mereka di hari tua. Tetapi, bersamaan dengan itu
anak juga dijadikan sasaran pelampiasan frustasi dan keputusasaan.
Karena itu anak juga cepat menjadi dewasa baik secara mental maupun
seksual.
B. Dimensi
Konsep dimensi kemiskinan antara lain dikemukakan
oleh David Cox dalam Suharto (2006 : 132 – 133). David Cox membagi
kemiskinan dalam empat dimensi, yaitu :
a. Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi.
b. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan.
c. Kemiskinan sosial, dan
d. Kemiskinan konsekuensial.
Suharto (2006 : 133) mengatakan bahwa konsepsi
kemiskinan yang multidimensional ini lebih tepat untuk digunakan sebagai
pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan
penanganan di Indonesia. Dimensi ekonomi memungkinkan untuk dilakukan
pengukuran secara langsung terhadap kemiskinan untuk menetapkan standar
baku yang dikenal sebagai garis kemiskinan (line poverty). Dalam
konteks politik, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidaksamaan
kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Dimensi sosial
psikologis dalam kemiskinan menunjuk pada kurangnya jaringan dan
struktur sosial yang dapat mendukung upaya untuk mendapat
kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas.
Dimensi-dimensi kemiskinan merupakan faktor-faktor
yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Hubungan sebab akibat
dan saling mempengaruhi ini kemudian menyebabkan masyarakat terjebak
dalam perangkap kemiskinan atau sering disebut juga sebagai lingkaran
setan kemiskinan. Pada beberapa kelompok masyarakat miskin mungkin bisa
jadi kemiskinan pada awalnya dipicu oleh satu atau dua faktor yang
dominan, tetapi kemiskinan tersebut menjadi lebih kronis dan
berkelanjutan pada saat dimensi lainnya mengarah pada kondisi yang
negatif dan tidak memberikan peluang untuk melakukan perubahan.
Sarasutha dan Noor dalam Supadi dan Akhmad Rozany (2008) mengatakan
bahwa “ketimpangan pendapatan di pedesaan banyak dipengaruhi oleh
kondisi agroekosistem setempat”. Wilayah berproduktivitas rendah
mempunyai hubungan timbal balik dengan kemiskinan, baik sebagai penyebab
maupun sebagai akibat. Oleh karena itu, suatu wilayah yang tingkat
produktivitasnya rendah dapat mengakibatkan masyarakatnya miskin.
Demikian pula sebaliknya, ketidakmampuan masyarakat mengelola sumber
daya mengakibatkan wilayah itu menjadi miskin.
C. Indikator
Selain indikator kemiskinan yang ditetapkan oleh
pemerintah, belum ada indikator yang benar-benar tepat dan sesuai untuk
digunakan untuk menggambarkan kondisi kemiskinan yang dapat diberlakukan
secara umum dan baku terhadap semua komunitas, bukan hanya dari aspek
kehidupan ekonominya tetapi juga dari aspek lain, misalnya aspek sosial,
hukum dan politik. Menurut Emil Salim (1982)
[3],
penentuan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan pokok (yang kemudian disebut sebagai garis kemiskinan), dapat
dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu : 1) persepsi manusia terhadap
kebutuhan pokok yang diperlukan, 2) posisi manusia dalam lingkungan
sekitar dan 3) kebutuhan obyetif manusia untuk bisa hidup secara
manusiawi. Pendapat ini menunjukkan bahwa memang tidak ada standar yang
bisa digeneralisir terhadap semua kelompok masyarakat untuk menetapkan
suatu kondisi dan situasi sebagai masalah kemiskinan. Oleh karena itu,
indikator-indikator kemiskinan yang masih berlaku dan digunakan untuk
menetapkan suatu kondisi sebagai masalah kemiskinan masih menggunakan
indikator-indikator
Beberapa metode pengukuran yang digunakan dalam menetapkan indikator kemiskinan adalah sebagai berikut :
a. Metode pengukuran jumlah kalori yang dikonsumsi per orang per hari
Metode ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS). Standar kebutuhan minimum per orang per hari menurut BPS adalah
2100 kalori. Pemenuhan jumlah kalori tersebut sudah diperhitungkan dari
52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk.
Pemenuhan kebutuhan lainnya (non makanan) diperhitungkan dari 45 jenis
komoditi non makanan dengan tidak membedakan antara wilayah perkotaan
dan pedesaan. Jumlah pengeluaran dalam rupiah untuk memenuhi kebutuhan
tersebut yang disesuaikan dengan harga pasar yang berlaku di
masing-masing wilayah kemudian ditetapkan sebagai garis kemiskinan
penduduk di suatu wilayah.
b. Metode pengukuran pendapatan yang disetarakan dengan nilai tukar beras per kapita per tahun
Metode ini dikemukakan oleh Sajogyo dan Sajogyo
(1980) untuk mengukur tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan didasarkan
pada jumlah pendapatan per kapita per tahun yang disetarakan nilai tukar
beras, yaitu :
1) Kelompok paling miskin : bila pendapatannya kurang dari nilai tukar beras sebesar 240 kg/kapita/tahun.
2) Kelompok miskin sekali : bila pendapatannya hanya
setara dengan nilai tukar beras sebesar 240 kg sampai dengan 360 kg per
kapita/tahun.
3) Kelompok miskin : bila pendapatannya hanya setara
dengan nilai tukar beras sebesar 360 kg sampai dengan 480 kg per
kapita/tahun.
4) Kelompok cukup : bila pendapatannya setara dengan nilai tukar beras sebesar 480 kg sampai dengan 960 kg per kapita/tahun.
5) Kelompok kaya : bila pendapatannya sama atau lebih dari nilai tukar beras sebesar 960 kg per kapita/tahun.
c. Metode pengukuran berdasarkan kriteria kesejahteraan keluarga
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
tahun 2004 menggunakan kriteria kesejahteraan keluarga untuk mengukur
kemiskinan. Lima pengelompokkan tahapan keluarga sejahtera menurut BKKBN
adalah sebagai berikut :
1) Keluarga Pra Sejahtera
Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama,
pangan, sandang, papan dan kesehatan.
2) Keluarga Sejahtera I
Keluarga sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat
mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Indikator yang digunakan, yaitu :
a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut.
b) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
c) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
d) Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
e) Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/ petugas kesehatan.
3) Keluarga Sejahtera II
Keluarga selain dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi
belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikator yang digunakan
terdiri dari lima indikator pada Keluarga Sejahtera I ditambah dengan
sembilan indikator sebagai berikut :
a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut masing-masing.
b) Sekurang-kurangnya sekali seminggu keluarga menyediakan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk.
c) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir.
d) Luas lantai rumah paling kurang 8,0 m2 untuk tiap penghuni rumah.
e) Seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir
berada dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi
masing-masing.
f) Paling kurang satu orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan tetap.
g) Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.
h) Seluruh anak berusia 6-15 tahun saat ini (waktu pendataan) bersekolah.
i) Bila anak hidup dua orang atau lebih pada keluarga
yang masih PUS, saat ini mereka memakai kontrasepsi (kecuali bila
sedang hamil).
4) Keluarga Sejahtera III
Keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum
dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi
kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan
di lingkungan desa atau wilayahnya. Mereka harus memenuhi persyaratan
indikator pada Keluarga Sejahtera I dan II serta memenuhi syarat
indikator sebagai berikut :
a) Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
b) Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga.
c) Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari
dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar-anggota
keluarga.
d) Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
e) Mengadakan rekreasi bersama di luar rumahpaling kurang sekali dalam enam bulan.
f) Memperoleh berita dengan membaca surat kabar, majalah, mendengarkan radio atau menonton televisi.
g) Anggota keluarga mampu mempergunakan sarana transportasi.
5) Keluarga Sejahtera III Plus
Keluarga selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi
kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut
menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan
semacam itu dalam masyarakat. Keluarga-keluarga tersebut memenuhi
syarat-syarat indikator pada Keluarga Sejahtera I sampai III dan
ditambah dua syarat berikut :
a) Keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.
b) Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat lainnya.
Metode yang digunakan oleh BKKBN ini sudah sangat
sering diperdebatkan di berbagai kalangan karena selain rumit,
keluarga-keluarga yang didata belum tentu memberikan keterangan yang
sebenarnya dalam proses pendataan. Salah satu indikator yang mungkin
tidak dijawab secara obyektif oleh responden adalah indikator yang
berkaitan dengan agama karena masyarakat umumnya malu mengakui apabila
kurang aktif atau taat dalam melakukan ibadah. Kesulitan untuk
menerapkan indikator dari BKKBN dalam mengukur kemiskinan juga ditemui
di daerah pedesaan. Rumah di perdesaan yang letaknya jauh dari pusat
kota umumnya berlantai tanah oleh karena itu bentuk dan bahan bangunan
rumah tidak dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan tanpa
mempertimbangkan beberapa indikator lainnya. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa banyak penduduk desa yang memiliki lahan garapan dan
ternak yang bila dihitung dengan nilai rupiah bahkan melebihi kekayaan
yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak miskin.
d. Metode pengukuran jumlah pendapatan
Bank Dunia menggunakan metode pengukuran jumlah
pendapatan minimal per hari per orang untuk menentukan garis kemiskinan.
Menurut Bank Dunia, pendapatan minimal per orang per hari adalah U$ 1
(setara dengan Rp. 9.000,-). Penetapan pengukuran pendapatan ini tidak
disertai dengan pengukuran pengeluaran per orang per hari dengan asumsi
bahwa selain kebutuhan makanan pokok, pengeluaran untuk jenis kebutuhan
lain (non makanan) tidak selalu dilakukan setiap hari. Apabila
disetarakan dengan pendapatan per bulan maka seseorang dikatakan miskin
apabila penghasilannya dalam sebulan kurang dari Rp. 600.000,-.
e. Metode pengukuran pemenuhan kebutuhan sesuai hak-hak dasar
Indikator kemiskinan dengan menggunakan pengukuran
pemenuhan kebutuhan sesuai hak-hak dasar ini dikemukakan oleh BAPPENAS.
Masing-masing indikator tersebut adalah :
1) Terbatasnya kecukupan pangan, yaitu kurang dari 2.100 kkal/orang/hari.
2) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
kesehatan yang disebabkan oleh kesulitan mendapat layanan kesehatan
dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman
terhadap perilaku hidup sehat dan kurangnya layanan kesehatan
reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh serta biaya
perawatan dan pengobatan yang mahal.
3) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas
pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan
memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan,
baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung.
4) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha,
lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, perbedaan upah dan lemahnya
perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan.
5) Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,
6) Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan
untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya
penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air.
7) Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan
tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur
penguasaan dan kepemilikan tanah serta ketidakpastian dalam penguasaan
dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat
dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi
anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian.
8) Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber
daya alam serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.
Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir,
daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada
sumber daya alam sebagai sumber penghasilan.
9) Lemahnya jaminan rasa aman.
10) Lemahnya partisipasi.
11) Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh
besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong
terjadinya migrasi.
Seringkali kondisi kemiskinan yang dialami suatu
komunitas tidak memenuhi semua unsur indikator yang telah disebutkan.
Indikator-indikator yang terlihat jelas dan berlaku pada komunitas
secara umum adalah : 1) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
pendidikan, 2) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, 3) terbatasnya
akses layanan perumahan dan sanitasi, 4) terbatasnya akses terhadap air
bersih, 5) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, 6)
terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam dan 7) lemahnya
partisipasi. Perbedaan kemampuan anggota komunitas dalam memenuhi
kebutuhan dasar dan kepemilikan aset/lahan secara tidak langsung telah
membuat stratifikasi sosial dalam komunitas. Stratifikasi sosial ini
tidak ada kaitannya dengan faktor keturunan tetapi lebih disebabkan oleh
cara pandang dan pengukuran komunitas terhadap tingkat ekonomi
warganya.
D. Karakteristik
Menurut BPS (2008), karakteristik rumah tangga miskin
di Indonesia dikelompokkan dalam bidang sosial demografi, pendidikan,
ketenagakerjaan dan perumahan. Uraian ringkas masing-masing
karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :
a. Karakteristik Sosial Demografi
Karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin meliputi :
1) Rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4,70 (perkotaan) dan 4,64 orang (perdesaan),
2) Prosentase perempuan sebagai kepala rumah tangga mencapai 14,18% (perkotaan) dan 12,30% (perdesaan),
3) Rata-rata usia kepala rumah tangga 48,57 tahun (perkotaan) dan 47,86 tahun (perdesaan),
4) Tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang diukur
dengan indikator rata-rata lama sekolah yang dijalani kepala rumah
tangga, yaitu 5,19 tahun (perkotaan) dan 4,06 tahun (perdesaan) atau
setara dengan tamat SD dan SMP.
b. Karakteristik Pendidikan
Karakteristik pendidikan meliputi :
1) Prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf sebesar 14,30% (perkotaan) dan 19,57% (perdesaan),
2) Tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga
yang Tidak Tamat SD dan Tamat SD, di perkotaan sebesar 37,13% dan 35,55%
sedangkan di perdesaan sebesar 45,36% dan 41,15%.
c. Karakteristik Ketenagakerjaan
Karakteristik ketenagakerjaan meliputi :
1) Rata-rata prosentase pengeluaran rumah tangga
per-kapita/bulan atau sumber penghasilan utama rumah tangga di perkotaan
sebesar 14,71% yang tidak bekerja dan 30,02% yang bekerja di sektor
pertanian sedangkan di perdesaan sebesar 8,67% yang tidak bekerja dan
68,99% yang bekerja di sektor pertanian.
2) Status pekerjaan kepala rumah tangga, antara lain :
tidak bekerja dan berusaha sendiri (atau berusaha sendiri dibantu buruh
tidak tetap), masing-masing sebesar 14,71% dan 40,86% untuk perkotaan
sedangkan perdesaan sebesar 8,67% dan 60,63%.
d. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan)
Karakteristik tempat tinggal meliputi :
1) Luas lantai < 8 M² sebanyak 31,01% (perkotaan) dan 29,61% (perdesaan),
2) Lantai tanah sebesar 18,68% (perkotaan) dan 31,21% (perdesaan),
3) Jenis atap rumah yang terbuat dari ijuk/rumbia sebesar 0,41% (perkotaan) dan 4,57% (perdesaan),
4) Jenis dinding yang terbuat dari kayu dan bambu,
masing-masing sebesar 16,15% dan 17,88% untuk perkotaan sedangkan
perdesaan sebesar 30,57% dan 29,33%,
5) Jenis penerangan, yaitu petromax/aladin dan
pelita/sentir/obor, masing-masing sebesar 0,56% dan 3,07% untuk
perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 1,37% dan 19,71%,
6) Sumber air bersih yang meliputi mata air, sumur
tak terlindung, air sungai, air hujan dll sebesar 49,70% (perkotaan) dan
63,99% (perdesaan),
7) Jenis jamban (jamban umum atau tidak ada) sebesar 34,95% (perkotaan) dan 51,66% (perdesaan),
8) Status pemilikan rumah tinggal yang bukan milik
sendiri (sewa/kontrak, menumpang, dll) sebesar 14,93% (perkotaan) dan
7,27% (perdesaan).
Sama halnya dengan indikator, pada kenyataan di
lapangan dapat diketahui bahwa tidak semua komunitas miskin menyandang
semua karakteristik kemiskinan versi BPS atau karakteristik versi
lainnya. Karakteristik yang umum ditemui dalam komunitas miskin adalah :
1) jumlah anggota rumah tangga, 2) prosentase perempuan sebagai kepala
rumah tangga, 3) prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf, 4)
jenis lantai tanah, 5) jenis penerangan dan 6) status kepemilikan tempat
tinggal/rumah.
[1] Analisis dan penghitungan tingkat kemiskinan tahun 2008, BPS Indonesia.
[2] Dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004 – 2009).